A. PENDAHULUAN
Ajaran Islam
merupakan ajaran yang menyeluruh meliputi segala aspek kehidupan, yang
diturunkan khusus untuk umat di akhir zaman dengan segala permasalahan dan
solusinya. (Iqbal, 2007, hal. 148) Tidak hanya sekedar membahas ritual
peribadatan di masjid-masjid yang notabennya membahas hubungan manusia dengan
Penciptanya (hablu minallah), namun juga membahas hubungan manusia dengan
manusia (hablu minannas), termasuk di dalamnya kegiatan ekonomi.
Ekonomi
dalam Islam atau yang sering disebut dengan iqtishad mengacu pada ajaran Islam,
karenanya ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan (integral) dari agama
Islam. Islam memandang aktifitas ekonomi secara positif. Semakin banyak manusia
terlibat dalam aktivitas ekonomi maka semakin baik, sepanjang tujuan dari
prosesnya sesuai dengan ajaran Islam. Ketaqwaan kepada Tuhan tidak berimplikasi
pada penurunan produktivitas ekonomi, sebaliknya justru membawa seseorang untuk
lebih produktif. Kekayaan dapat mendekatkan kepada Tuhan selama diperoleh dengan
cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. (P3EI (UII), 2009, hal. 13-14)
Islam
memposisikan kegiatan ekonomi sebagai salah satu aspek penting untuk
mendatangkan kemuliaan (falah) dan karenanya kegiatan ekonomi sebagai mana
kegiatan ibadah lainnya perlu dituntun dan di kontrol agar berjalan seirama
dengan ajaran Islam secara keseluruhan. (P3EI (UII), 2009, hal. 16) Dalam
kaitan tersebut, Islam juga sangat menghormati kegiatan ekonomi, yang termasuk
di dalamnya mekanisme pasar. Sampai-sampai Rasulullah melarang adanya inervensi
terhadap pasar dan harga, karena intervensi tersebut hanya akan menimbulkan
ketidak seimbangan pada pasar yang nantinya dikhawatirkan akan menyebabkan
kerugian bagi penjual dan pembeli.
Kaitanya
dengan intervensi harga dan pasar, memeng seharusnya pemerintah khususnya
Indonesia tidak melakukan intervensi harga dan membiarkan titik keseimbangan
harga pasar menentukan harga itu sendiri sesuai dengan harga yang adil yaitu
ketika permintaan bertemu dengan penawaran secara bebas (‘antaradhin minkum).
Berdasarkan
uraian diatas, maka dapat diambil pokok masalah yang kiranya layak untuk dikaji
lebih mendalam, yaitu mengenai bagaimana intervensi harga dalam perspektif
ekonomi Islam. Adapun tujuan dari penulisan paper ini yaitu untuk menjelaskan
intervensi harga dalam perspektif Islam. Dan manfaat dari penulusan ini
harapannya yang pertama untuk memperluas, meningkatkan, serta mengembangkan
wawasan penulis, dan kedua sebagai nilai UAS Mata Kuliah Ekonomi Mikro Islam
Semester 3/2014.
B. STUDY
LITERATUR
Pasar
merupakan bagian penting dalam kehidupan seorang muslim. Pasar dapat dijadikan
sebagai katalisator hubungan transendental antara muslim dengan Tuhannya.
(Marthon, 2007, hal. 87) Dengan kata lain, bertransaksi dalam pasar merupakan
ibadah seorang muslim dalam kehidupan ekonomi. Hal tersebut pernah dilakukan
oleh Rasulullah ketika hijrah ke Madinah dimana beliau banyak pergi ke pasar
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Definisi
mengenai pasar sangat beragam, dalam buku Microeconomic Theory
mendefinisikan pasar sebagai berikut: “Market is a place where buyers and
sellers come together to buy and to sell their resources and goods and services”.
(Algifari, 2002, hal. 8) Pengertian
tempat (place) dalam definisi ini tidak mesti tempat secara fisik, dapat
saja berarti pertemuan antara penjual dan pembeli dalam bernegosiasi untuk
memperoleh kesepakatan jual beli yang tidak harus bertatap muka satu sama lain.
Dalam definisi lain DR. Said Sa’ad Marthon menyatakan bahwa pasar adalah sebuah
mekanisme yang dapat mempertemukan pihak penjual dan pembeli untuk melakukan
transaksi atas barang dan jasa; baik dalam bentuk produksi maupun penentuan
harga. (Marthon, 2007, hal. 85)
Mekanisme
pasar adalah kebebasan sepenuhnya oleh pasar tanpa intervensi pihak manapun,
yaitu terjadinya interaksi antara permintaan dan penawaran yang akan menentukan
tingkat harga tertentu, yang menimbulkan terjadinya sebuah transfer barang dan
jasa dari produsen kepada konsumen. (Karim A. A., 2003, hal. 13)
Aspek-aspek
mekanisme pasar meliputi komoditi, pelaku pasar, dan harga. Dalam ilmu ekonomi,
pelaku pasar dikategorikan menjadi tiga yaitu konsumen yang membentuk
permintaan pasar, produsen yang membentuk penawaran harga, dan pemerintah yang
meregulasi harga. (Sunaryo, 2001, hal. 47)
Sedangkan
harga itu sendiri menurut Buchari adalah nilai suatu barang yang dinyatakan
dengan uang. (Buchari, 2002) Harga juga diartikan sebagai jumlah uang sebagai
alat tukar untuk memperoleh produk atau jasa. (Saladin, 2005, hal. 95) Selain
itu, pengertian lain mengenai harga adalah jumlah uang yang dibutuhkan untuk
mendapatkan sejumlah kombinasi dari produk dan pelayanannya.
Adapun harga
menurut ahli ekonomi Islam adalah sesuatu yang direlakan dalam akad, baik lebih
sedikit, lebih besar, atau sama dengan nilai barang. Biasanya, harga dijadikan
penukaran barang yang diridhai oleh kedua belah pihak. (Irawan, 2005, hal. 241)
Para ulama
Islam sering mengaitkan konsep harga tersebut dengan konsep harga adil. Harga
yang adil menurut Islam adalah harga yang dibayar untuk objek yang sama yang
diberikan pada waktu dan tempat yang diserahkan. (Islahi, 1997, hal. 25) Mereka
juga sering mengistilahkan dengan thaman al-mithl (harga yang setara/equivalen
price). Sarjana muslim ternama Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Hisbah
menyatakan bahwa kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal
yang setara, dan itulah esensi keadilan (nafs al-adl). (Karim, 2010,
hal. 25)
Dari
definisi tersebut jelaslah bahwa yang menentukan harga adalah permintaan
produk/jasa oleh para pembeli dan pemasaran produk/jasa dari para pedagang.
Oleh karena jumlah pembeli ada banyak, maka permintaan tersebut dinamakan
permintaan pasar. Adapun penawaran pasar terdiri dari pasar monopoli, duopoli,
oligopoli, dan persaingan sempurna. Jadi harga-harga yang ditentuka oleh
permintaan dan penawaran pasar yang membentuk suatu titik keseimbangan yang
merupakan kesepakatan antara para pembeli dan para penjual yang mana para
pembeli dan penjual sama-sama memberikan ridha.
Adam Smith
mengemukakan bahwa pasar akan diatur oleh tangan-tangan yang tidak terliahat (invisible
hands). Hal ini terkait dengan kritikan Adam Smith terhadap konsep kaum
Markentilis akan perlunya intervensi negara untuk mengatur pasar. Berdasarkan penjelasan itu
(bahwa Adam Smith banyak merujuk pada perekonomian Islam) bukan tidak mungkin
konsep Invisible Hands ini diilhami oleh hadits Rasulullah SAW yang
menjelaskan bahwa Allah lah yang menentukan harga (Karim A. A., Ekonomi Islam
Suatu Kajian Kontemporer, 2001, hal. 92). Konsep Invisible Hands ini
lebih tepat dikatakan sebagai God’s Hands.
Perbedaan,
Adam Smith menolak intervensi pasar (market intervention) secara
menyeluruh, sedangkan reaksi ekonomi islam ditentukan oleh penyebab naiknya
harga. Bila penyebabnya adalah perubahan supply dan demand, tindakan yang
diambil adalah market intervention; namun bila penyebabnya bukan pada
perubahan supply dan demand, tindakan yang tepat adalah price
intervention dengan tujuan untuk mengembalikan harga keseimbangan (Karim A.
A., Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, 2001, hal. 93).
Dalam
perspektif Ekonomi Konvensional, dikenal 2 penetapan harga yang lazim
diterapkan, antara lain (P3EI (UII), 2009, hal. 337-338) :
1. Penetapan
Harga di atas Harga Pasar (floor price)
Kebijakan
ini menetapkan harga pada suatu tingkat di atas harga pasar. Hal ini biasanya
digunakan untuk melindungi produsen dari harga yang terlalu rendah sehingga
tidak memperoleh margin keuntungan yang memadai (bahkan merugi). Harga yang
terjadi di atas kekuatan pasar dianggap tidak menguntungkan produsen sehingga
harus dinaikkan oleh pemerintah. Contoh : kebijakan harga dasar gabah yang
telah lama dilakukan pemerintah untuk stabilitas harga beras. Pada saat panen
raya padi, maka penawaran beras di pasar mengalami kenaikan shingga secara
alamiah harga akan turun.
Penetapan
harga dasar ini akan menimbulkan banyak distorsi bagi perekonomian. Penetapan
harga di atas harga pasar akan menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran.
Kelebihan ini kemungkinan besar tidak akan diserap oleh konsumen, sebab
harganya terlalu tinggi. Para konsumen akhirnya akan mencari beras di
pasar-pasar gelap yang menjual pada harga pasar. Importir-importir akan
berlomba-lomba mendatangkan beras dari tempat lain yang bisa memberikan harga
pasar. Dalam kenyataan, pembentukan pasar gelap selalu disertai dengan
munculnya kolusi, korupsi, dan nepotisme antara pihak-pihak yang terkait.
Akibatnya beras-beras di pasar resmi tidak akan laku. Dalam kondisi seperti ini
biasanya dengan terpaksa para produsen juga akan menjual berasnya pada harga
pasar (dari pada tidak laku).
2. Penetapan
Harga di bawah Harga Pasar (ceilling price)
Alasan yang
umum dalam mengambil kebijakan ini adalah untuk melindungi konsumen dari harga
yang terlalu tinggi. Pengaruh penetapan ini juga tidak jauh berbeda, yaitu
menimbulkan banyak distorsi bagi perekonomian. Karena harga terlalu rendah,
maka akan terjadi kelebihan permintaan sebab konsumen membeli harga lebih murah
dari yang seharusnya. Namun bagi konsumen jelas harga ini tidak menguntungkan
shingga kemungkinan akan enggan untuk melepaskan barang-barangnya ke pasar.
Para produsen akan cenderung menjual barangnya ke pasar lain (black market)
yang bisa memberikan harga yang lebih tinggi.
Adapun
intervensi pemerintah dalam hal regulasi harga sebenarnya merupakan hal yang
kurang populer dalam khazanah pemikiran ekonomi Islam sebab regulasi harga yang
tidak tepat justru akan menimbulkan ketidak adilan dalam penentuan harga.
Seperti zaman dahulu, Rasulullah sangat enggan untuk diminta menetapkan harga
pasar, seperti kisah ketika Rasulullah SAW. diminta untuk menentukan harga yang
tiba-tiba menaik. Pada saat itusahabat berkata, “Wahai Rasulullah tentukan
harga untuk kita!” Beliau menjawab, “Allah itu sesungguhnya adalah
penentu harga, penahan, pencurah serta pemberi rezeki. Aku mengharapkan dapat
menemui Tuhanku dimana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena
kedzaliman dalam hal darah dan harta”. Dari hadits di atas jelaslah bahwa
pasar merupakan hukum alam (sunnatullah) yang harus dijunjung tinggi,
tak seorang pun dapat mempengaruhi harga.
Al-Maslahah
al-mursalah adalah salah satu cara dalam menetapkan hukum bagi masalah-masalah
yang ketetapan hukumnya tidak disebutkan dalam nash dengan pertimbangan untuk
kemaslahatan umat manusia, (Djaelani, 2007, hal. 270) untuk memelihara tujuan
hukum yang terlepas dari dalil-dalil syar’i, baik dalil yang menguatkan (I’tibar)
maupun yang meniadakannya.
Ruang
lingkup penetapan Maslahah Mursalah terbatas pada bidang muamalah,
karena kemaslahatan bidang inilah yang mungkin ditemukan dan diketahui.
Sehingga tidak menjangkau bidang ibadah, apabila penetapan hukum bidang ini
melalui Maslahah Mursalah akan membawa kepada perubahan syi’ar agama dan
beragamnya ibadah. (Abdullah, 2004, hal. 155)
C. METODE PENULISAN
Dalam
penulisan paper ini penyusun menggunakan metode penulisan deskriptif analitik,
yaitu dengan mengumpulkan data kemudian dari data tersebut disusun, dianalisis
kemudian ditarik kesimpulan. Dan dalam analisis data ini, penyusun menjabarkan
tentang masalah yang menjadi bahan penulisan dan aspek-aspek yang berhubungan
dengan tema yang diangkat.
Selain itu,
penulisan ini bersifat study kepustakaan (library research). Adapun
metode study kepustakaan adalah penulisan yang dilaksanakan dengan menggunakan
literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil
penulisan dari penulis terdahulu. (Hasan, 2002, hal. 11)
Jenis data
yang dipakai dalam penulisan ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah
data yang diperoleh dalam bentuk sudah jadi, sudah dikumpulkan dan diolah oleh
pihak lain, biasanya sudah dalam bentuk publikasi. Data semacam ini sudah
dikumpulkan pihak lain untuk tujuan tertentu yang bukan demi keperlian
penulisan yang sedang dilakukan penyusun saat ini secara spesifik. (Muhammad,
2008, hal. 102)
Dalam
pengumpulan dan pengolahan data, kerangka berfikir yang diambil yaitu dengan
mengumpulkan informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan intervensi, harga,
pasar, peran pemerintah didalamnya, dan maslahah mursalah. Setelah data-data
tersebut terkumpul maka dilakukan analisis permasalahan yang terjadi dan
disesuaikan dengan aturan dalam ekonomi Islam untuk mengambil kesimpulan.
D. PEMBAHASAN
Harga harus
mencerminkan manfaat bagi pembeli dan penjualan secara adil, yaitu penjualan
memperoleh keuntungan yang normal dan pembeli memperoleh manfaat yang setara
dengan harga yang dibayarkan. (P3EI (UII), 2009, hal. 332) Jadi harga yang adil
ini adalah harga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan (kezaliman)
sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain.
Penentuan
harga dalam ekonomi syariah didasarkan atas mekanisme pasar, yakni harga
ditentukan berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran atas azas sukarela
(‘an taradhiin), sehingga tidak ada satu pihak pun yang teraniaya atau
terzalimi. Dengan syarat kedua belah pihak yang bertransaksi mengetahui
mengenai produk dan harga di pasaran. (Amrin, 2007, hal. 75)
Hal tersebut tergambar dalam kurva di bawah ini:
Islam sangat
menjunjung tinggi mekanisme pasar yang berdasarkan atas kekuatan permintaan dan
penawaran.
1) Titik keseimbangan pasar akan terjadi ketika
permintaan bertemu dengan penawaran secara bebas (‘antaradhin minkum)
2) Jika proses mencapai titik keseimbangan ini
terganggu maka pemerintah harus melakukan intervensi.
Kaitannya
dengan mekanisme pasar, Islam memberikan kebebasan dalam penentuan harga. Pasar
adalah penentu harga, artinya pihak manapun tidak boleh mengintervensi harga di
pasar. Semua itu bergantung pada kekuatan permintaan dan kekuatan pasar.
(Sudarsono, 2004, hal. 152) Dalam konsep Islam, pertemuan permintaan dan
penawaran tersebut haruslah terjadi secara sukarela.
Dalam konsep
Islam, pertemuan permintaan dengan penawaran tersebut haruslah terjadi secara
rela sama rela, tidak ada pihak yang merasa terpaksa untuk melakukan transaksi
pada tingkat harga tersebut. Jadi titik pertemuan antara permintaan dan
penawaran yang membentuk harga keseimbangan hendaknya berada dalam keadaan rela
sama rela dan tanpa ada paksaan dari salah satu pihak.
Intervensi
harga hanya akan menimbulkan excess demand atau excess supply dan selanjutnya
menimbulkan pasar gelap. Pasar gelap inilah yang menjadi potensi timbilnya
kolusi dan korupsi. (Hafidhudhin, 2003, hal. 72)
Seperti dalam kurva di bawah ini:
Penjelasan kurva :
1) Ketika pemerintah menetapkan floor price sebesar P*, sementara
harga keseimbangan adalah P, maka akan mengakibatkan kelebihan penawaran (excuss
supply) sehingga kondisi tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak penjual.
2) Ketika
pemerintah menetapkan ceilling price sebesar P*, sementara harga
keseimbangan adalah P, maka akan mengakibatkan kelebihan permintaan (excuss
demand) dan hal tersebut memberikan kerugian bagi pembeli.
Menurut Ibnu
Taimiyah Yang dikutip oleh Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa dalam Islam
penetapan harga dibagi menjadi 2 macam, yaitu : penetapan harga yang tidak adil
dan cacat hukum dan penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum. Adapun
yang dimaksud penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan
harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan
pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand.
Sedangkan penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum adalah penetapan yang
tidak menimbulkan kerugian atau penindasan kepada para pelaku pasar. Justru
penetapan harga jika memang menimbulkan keadilan akan membawa tingkat harga
kepada harga posisi harga yang seharusnya.
(Qardhawi, 1997, hal. 257)
Namun Islam
juga tidak menutup kemungkinan adanya kebijakan penetapan harga dengan syarat
dalam kondisi-kondisi tertentu saja dengan tetap berpegang teguh pada
nilai-nilai keadilan. Menurut Mannan dalam bukunya The Behavior of Film and
Its Objectives in An Islamic Framework, regulasi harga ini harus
menunjukkan tiga fingsi dasar, yaitu (P3EI (UII), 2009, hal. 335) :
1. Fungsi
ekonomi yang berhubungan dengan peningkatan produktivitas dan peningkatan
pendapatan masyarakat miskin melalui alokasi dan realokasi sumber daya ekonomi.
2. Fungsi
sosial dalam memelihara keseimbangan sosial antara masyarakat kaya dan miskin.
3. Fungsi moral
dalam menegakkan nilai-nilai syariah Islam, khususnya yang berkaitan dalam
transaksi ekonomi.
Menurut
Qardhawi, jika pedagang menahan suatu barang, sedangkan pembeli membutuhkannya
dengan maksud agar pembeli mau membelinya dengan harga di atas harga pasar.
Dalam kasus ini, para pedagang secara suka rela harus menerima penetapan harga
oleh pemerintah. Dengan demikian, penetapan harga wajib dilakukan agar pedagang
menjual harga yang sesuai demi tegaknya keadilan. (Qardhawi, 1997, hal. 258)
Kaitannya dengan penetapan harga,
Ibnu Taimiyah juga dalam bukunya Al-Hisbah menjelaskan cara pengendalian harga
yang ditentukan oleh penyebabnya. Bila penyebabnya adalah perubahan pada genuine
demand dan genuine supply, maka mekanisme pengendalian dilakukan
melalui market intervension. Sedangkan bila penyebabnya adalah distorsi
terhadap genuine demand dan genuine supply, maka mekanisme
pegendaliannya dilakukan melalui penghilangan distorsi termasuk penentuan price
intervension untuk mengembalikan harga pada keadaan sebelum distorsi. (Karim A.
A., 2003, hal. 238-239)
Seperti pada masa Rasulullah SAW dan
Khalifah Umar bin Khattab, kota Madinah pernah mengalami kenaikan harga-harga
bahan pokok sehingga masyarakatnya tidak dapat menjangkau herga tersebut. Maka
yang dilakukan Rasulullah SAW dan Umar tidak langsung mengintervensi harga
namun dengan melakukan market intervension dengan cara :
Mengintervensi
sisi penawaran dengan cara mengimpor gandum dari mesir sehingga pasokan gandum
kembali seperti semula.
Hal tersebut tergambar dalam kurva di bawah ini :
Penjelasan :
1) Akibat
kekeringan kurva penawaran gandum di Madinah bergeser dari S* S* ke S S,
sehingga harga naik dari P1 ke P2
2) Kemudian
Rasulullah SAW mengimpor gandum dari Mesir untuk menambah kembali pasokan
gandum di pasar sehingga kembali kurva penawaran bergeser kanbali dari S S
menuju S* S*.
Namun pada masa pemerintahan Khalifah
Umar bin Khattab, hal tersebut tidak meyebabkan daya beli masyarakat masih
tetap rendah, maka Umar bin Khattab pun mengintervensi permintaannya dengan
membagikan kupon kepada fakir miskin, agar fakir dan miskin dapat mencukupi
kebutuhannya, dengan bantuan kupon tersebut.
Penjelasan :
Harga
keseimbangan setelah diintervensi dari sisi permintaannya menjadi Q**. Dan
barang yang dimintapun bergeser ke Q3.
Hal yang
dilakukan Umar bin Khattab tersebut jelas tidak melakukan intervensi harga
secara langsung, namun dengan mengintervensi pasar, adapun harga dikembalikan
kepada pasar.
Menurut Ibnu
Taimiyah beberapa kondisi yang diperbolehkan untuk melakukan intervensi, (Anto, 2003, hal. 301-302) yaitu :
1. Pada saat
masyarakat betul-betul membutuhkan barang-barang, seperti saat terjadi bencana
kelaparan atau peperangan. Menurut Ibn Taimiyah, “Inilah saatnya pemegang
otoritas (pemerintah) untuk memaksa seseorang menjual barang-barangnya pada
harga yang jujur, jika penduduk sangat membutuhkannya. Misalnya ketika ia
memiliki kelebihan bahan pangan dan penduduk menderita kelaparan, pedagang itu
akan dipaksa menjualnya pada tingkat harga yang adil.
2. Para penjual
tidak mau menjual barangnya kecuali pada harga yang lebih tinggidari pada harga
normal (al-qimah al-ma’rufah), padahal konsumen sangat membutuhkanya. Kondisi
seperti ini biasanya disebabkan karena terjadinya penimbunan (ikhtikar) atau
monopoli. Menurutnya, para pemegang monopoli tak boleh dibiarkan melaksanakan
kekuasaannya sehingga melawan ketidak adilan terhadap penduduk.
3. Terjadi
diskriminasi harga untuk melawan pembeli atau penjual yang tidak mengetahui
harga pasar yang sebenarnya. Ia mengatakan, “Seorang penjualtidak boleh
menetapkan harga di atas biasanya, harga yang tidak umum di masyarakat, dari
individu yang tidak sadar (mustarsil), tetapi harus menjualnya pada tingkat
umum (al-qimah al-mu’tadah) atau mendekatinya. Jika seorang pembeli harus
membeli pada harga yang berlebihan, ia memiliki hak untuk memperbaiki transaksi
bisnisnya, seseorang tahu, diskriminasi dengan cara itu bisa dihukum dan
dikucilkan dari haknya memasuki pasar tersebut.
4. Para penjual
menawarkan harga yang terlalu tinggi, sementara para pembeli menginginkan
terlalu rendah. Jika hal ini dibiarkan akan menimbulkan kemandegan dalam pasar.
Ibnu Taimiyah juga menganalisis dampak terjadinya monopsoni. Ia menggambarkan
situasi minopsoni ini ketika para pembeli membentuk kekuatan untuk menghasilkan
harga barang dagangan pada tingkat yang sedemikian rendah. Dalam situasi
monopsoni yang seperti ini jelas pembeli memiliki potensi untuk mendzolimi
penjual.
5. Para penjual
melakukan kolusi, baik dengan sesama penjual ataupun dengan kelompok atau
seorang pembeli tertentu dengan tujuan untuk mempermainkan pasar.
6. Pemilik
jasa, misalnya tenaga kerja, menolak bekerja kecuali pada upah yang lebih
tinggi dibandingkan tigkat upah yang berlaku di pasar, padahal masyarakat
sangat membutuhkan jasa tersebut. Ia mengatakan, “Jika penduduk membutuhkan
pekerja tangan yang ahli dan pengukir, dan mereka menolak tawaran mereka, atau
melakukan sesuatu yang menyebabkan ketidak sempurnaan pasar, maka pemerintah
harus mengeluarkan kebijakan penetapan harga. Dan tujuan dari penetapan harga
ini adalah untuk melindungi pemberi kerja (employer) dan penerima kerja
(employee) dari saling mengekploitasi sau sama lain”.
Terkait
dengan hal tersebut Islam memandang, bahwa tanggung jawab pemerintah bukan
terbatas pada keamanan dalam negeri dan sistem keamanan yang mempunyai kekuatan
antisifatif serangan dari luar saja. Tapi pertanggung jawaban pemerintah ini
harus merupakan bagian dari program pencapaian masyarakat ideal yaitu adil dan
makmur. Keadailan dalam masyarakat tidak mungkin tercipta, tanpa keterlibatan
pemerintah dalam membela yang lemah dan memberikan pertolongan pada mereka,
juga dalam masalah yang menyangkut perekonomian. (an-Nabahan, 2002, hal. 38)
Pemerintah
harus bertanggung jawab dalam kesejahteraan masyarakat dan menghilangkan segala
bentuk perbuatan yang dapat mengancam kesejahteraan tersebut. Intervensi
pemerintah jangan sampai meninggalkan nilai keadilan yang menjadi hak setiap
rakyat untuk mendapatkannya. Keadilan disini, juga mencakup hak individu objek
intervensi. Maka intervensi harus secukupnya, dan tidak boleh berlebihan. Dan
jika masalah telah selesai, maka intervensi kembali ke hukum semula yaitu hram
dilakukan. (an-Nabahan, 2002, hal.
124-125)
Untuk
menjaga keberlangsungan pasar secara normal dan tetap dapat mewujudkan
kemaslahatan hidup masyarakat, diperlukan suatu lembaga yang mengawasi kegiatan
secara optimal. Lembaga tersebut berkawajiban mengamati mekanisme pasar dan
menjaganya dari prakter penimbunan (ihtikar), penipuan, praktek ribawi, serta
tindakan yang dapat menyebabkan terjadinya distorsi pasar. (Marthon, 2007, hal.
100) Selain itu, lembaga tersebut mempunyai wewenang untuk memberikan sanksi
kepada para pelaku pasar yang melakukan penyimpangan atas kaidah dan aturan
yang telah ditetapkan.
Praktek pengawasan
pasar telah dilaksanakan oleh Rasulullah dengan terjun langsung ke dalam pasar.
Dalam operasionalnya, beliau mengelilingi pasar dengan melakukan pembenahan
terhadap berbagai tindak penyimpangan yang terjadi di dalamnya. Dalam sebuah
riwayat dijelaskan, bahwa pelarangan Rasulullah terhadap tindak kecurangan dan
manipulasi dalam pasar dilanjutkan oleh Khulafa ar-Rasyidin dengan mendirikan
suatu lembaga, yaitu al-Hisbah. (Marthon, 2007, hal. 100)
Masalah
pembentukan negara atau pemerintah, juga berkaitan dengan iqamah ad-din untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena Allah telah mewajibkan amar ma’ruf
nahi munkar. Sementara upaya untuk menegakkan kewajiban itu tidak mungkin
terealisasi dengan baik tanpa adanya pemerintah. (Taimiyah, 1994, hal. 156-157)
Dasar legal
dari intervensi pemerintah yaitu:
“Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung”(QS. Ali-Imran:104)
Dari dalil
diatas kita dapat mengetahui bahwa pemerintah, menurut ajaran Islam
berkewajiban mengajak rakyat untuk berbuat kebaikan, memerintah yang ma’ruf
dan mencegah yang munkar. Dan setiap tindakan atau kebijakan para
pemimpin yang menyangkut dan mengenai hak-hak rakyat, harus dikaitkan dengan
kemaslahatan rakyat dan ditujukan untuk mendatangkan suatu kebaikan. (Quthb,
2001, hal. 132)
Intervensi
versi Islam jauh berbeda dengan intervensi model sosialis. Sosialis mendukung
pemerintah pada posisi yang sangat dominan, sehingga keterlibatan individu
praktis ditiadakan. Dalam Islam, individulah sebagai actor utama dan pemerintah
hanya bertindak sebagai stabilisator yang melindungihak-hak individu, terutama
hak-hak mendapat keamanan, kesejahteraan, dan jaminan sosial. (an-Nabahan,
2002, hal. 81)
Islam
memperkenankan intervensi, hanya dalam kasus tertentu. Jika Islam
memperbolehkan intervensi, hanya terbatas pada hal-hal yang mendesak demi
terlindunginya kepentingan umum, dengan syarat intervensi pemerintah
benar-benar refresentatif dari nilai syari’ah. Dimana kebolehan intervensi
hanya untuk menghilangkan kemadharatan yang sedang menimpa. Maka apabila
kemadharatan atau suatu keadaan yang memaksa telah hilang, maka kebolehan
terhadap yang didasarkan atas kemadharatan itu menjadi hilang pula, artinya
perbuatan kembali ke asal mulanya, yakni dilarang. (Rahman, 1976, hal. 87)
Allah SWT
berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan.” (QS. An-Nahl:90)
Ibnu taimiyah
berpendapat, “Apabila harga yang terbentuk tidak merefleksikan kerelaan
masing-masing pihak dan tidak terdapat persentase keuntungan tertentu, maka hal
tersebut akan menyebabkan rusaknya sebuah harga dan dapat merugikan kekayaan
manusia.” (Marthon, 2007, hal. 99)
Seperti yang
telah diketahui, bahwa tujuan intervensi harga oleh pemerintah adalah dalam
rangka mewujudkan maslahat bagi kehidupan masyarakat. Dan ketika pemerintah
memandang hal tersebut sebagai suatu kemaslahatan, maka saat itu pula
intervensi dapat dijalankan. Ada beberapa kondisi yang memperbolehkan adanya
penetapan harga, (Marthon, 2007, hal. 98) seperti dalam waktu perang, musim
peceklik, dan lain sebagainya.
E. PENUTUPAN
Pembentukan
harga suatu barang terjadi dengan adanya interaksi antara dua kekuatan pokok
yaitu penawaran oleh penjual atau produsen dan permintaan oleh pembeli atau
konsumen dari suatu produk baik itu barang maupun jasa. Dalam interaksi akan
terjadi tawar menawar sehingga tercapai suatu titik Equilibrium (titik
keseimbangan) berupa harga yang disepakati oleh para pihak yang bertransaksi.
Hasil yang disepakati bersifat mengikat antara keduanya, artinya seorang
produsen akan menyerahkan barang yang diminta sebagai kompensasi atas harga
yang dibayar atau sebaliknya konsumen harus membayar harga yang disepakati
sebagai kompensasi atas barang yang ia beli. (Sudarsono, 2004, hal. 220)
Seiring
dengan perkembangan zaman dan kompleksnya permasalahan ekonomi saat ini, maka
intervensi sekarang ini sangat dibutuhkan, dalam upaya menjaga stabilitas
ekonomi. Tujuan utama intervensi ini adalah dalam upaya menjaga kesejahteraan
bersama. Pemerintah mempunyai peran penting dalam mewujudkan kesejahteraan
semua orang dengan menjamin keseimbangan antara kepentingan privat dan sosial,
memelihara roda perekonomian pada rel yang benar dan mencegah pengalihan
arahnya oleh kelompok orang yang berkuasa yang berkepentingan. (Chapra, 2000,
hal. 227) Islam memandag bahwa terdapat satu kesatuan dan keseimbangan antara
aspek-aspek dalam setiap usaha manusia.
Sebaiknya
pemerintah selalu berkiblat kepada ekonomi yang berbasis ialam, karena ekonomi
Islam sangat menjunjung tinggi prinsip keadilan agar tercipta ekonomi Indonesia
yang berkeadilan yang memberikan kenyamanan bagi para pemangkunya dan
masyarakat.
Berdasarkan
penjelasan diatas, ada beberapa poin yang harus dipahami, yaitu pada dasarnya,
penentuan harga sebuah komoditas berdasarkan atas asas kebebasan. Harga yang
terbentuk merupakan hasil pertemuan antara permintaan dan penawaran dengan
asumsi pasar berjalan secara normal. Dalam kondisi tertentu, pemerintah boleh
melakukan intervensi harga. Intervensi hanya boleh dilakukan dalam kondisi
tertentu (dharurah), seperti terjadinya penimbunan, adanya kolusi di
antara penjual ataupun pembeli, dan distorsi pasar.
Intervensi
yang dilakukan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan
masyarakat, dan harga yang ditetapkan harus berdasarkan prinsip keadilan bagi
semua pihak dan tidak diperbolehkan adanya pihak pihak yang dirugikan.
Mewujudkan
sebuah harga yang adil harus memperhatikan barbagai macam aspek dan elemen para
pelaku pasar, baik biaya produksi, kebutuhan masyarakat, maupun sumber ekonomi
dan berbagai unsur yang dapat menciptakan keadilan suatu harga. Intervensi
pemerintah dalam penetapan harga merupakan kekhawatiran dari timbulnya kerugian
bagi salah satu pihak pelaku pasar. Dalam kondisi tersebut, intervensi harga
yang dilakukan hanyalah untuk menghindari kerugian yang lebih besar semata.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S.
(2004). Sumber Hukum Islam (Permasalahan dan Fleksibilitasnya). Jakarta:
Sinar Grafika.
Algifari.
(2002). Ekonomi Mikro Teori dan Kasus. Yogyakarta: STIE YKPN.
Amrin, A.
(2007). Strategi Pemasaran Asuransi Syariah. Jakarta: Grasindo.
an-Nabahan,
M. F. (2002). Sistem Ekonomi Islam. (M. Zainuddin, Penerj.) Yogyakarta:
UII Pres.
Anto, M. H.
(2003). Pengantar Ekonomi Mikro Islam. Yogyakarta: Ekonosia.
Buchari, A.
(2002). Manajemen Pemasaran. Bandung: CV Alfabeta.
Chapra, U.
(2000). Islam dan Tantangan Ekonomi. Jakarta: Gema Insani.
Djaelani, B.
M. (2007). Ensiklopedi Islam. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Hafidhudhin,
D. (2003). Islam Aplikatif. Jakarta: Gema Insani Press.
Hasan, M. I.
(2002). Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Iqbal, M.
(2007). Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar dan Dirham. Depok:
Spirit Learning Centre.
Irawan, B.
S. (2005). Manajemen Pemasaran Modern (Edisi Kedua ed.). Yogyakarta:
Liberty.
Islahi, A.
(1997). Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah (Edisi Terjemahan ed.). Surabaya:
Bina Ilmu.
Karim, A. A.
(2001). Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema Insani.
Karim, A. A.
(2003). Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: IIIT Indonesia.
Karim, A. A.
(2010). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Marthon, S.
S. (2007). Ekonomi Islam : Di Tengah Krisis Ekonomi Global. (L. Y.
Sanusy, Penyunt., & D. Ahmad Ikhrom, Penerj.) Jakarta: Zikrul Hakim.
Muhammad.
(2008). Metode Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kuantitatif. Jakarta:
Rajawali Pers.
P3EI (UII).
(2009). Ekonomi Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII. (2009). Ekonomi Islam.
Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Qardhawi, Y.
(1997). Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani.
Quthb, S.
(2001). Tafsir fi Zhilalil Qur'an. Jakarta: Gema Insani.
Rahman, A.
A. (1976). Qawa'idul Fiqhiyyah. Jakarta: Bulan Bintang.
Saladin, D.
(2005). Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Pelaksanaan, dan
Pengendalian. Bandung: Linda Karya.
Sudarsono,
H. (2004). Konsep Ekonomi Islam (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Ekonosia.
Sunaryo.
(2001). Ekonomi Manajerial : Aplikasi Teori Ekonomi Mikro. Jakarta:
Erlangga.
Taimiyah, I.
(1994). Etika Politik Islam. (R. Munawar, Penerj.) Surabaya: Risalah
Gusti.