Mata
Kuliah : Ekonomi Mikro Islam (UTS)
Semester : III (Tiga)
Dosen :
Azis Budi Setiawan, SEI., MM/
Ahmad Baehaqi, SEI
|
Hari/Tanggal : Senin, 4 November 2013
Nama :
Adi Angga Sukmana
NIM
: 41201002
|
1) Dalam berbagai literatur konvensional dijelaskan bahwa masalah utama dalam ilmu ekonomi adalah kebutuhan manusia yang tidak terbatas dihadapkan pada sumber daya ekonomi sebagai alat kebutuhan yang terbatas sehingga menyebabkan kelangkaan (scarcity). Kondisi tersebut memaksa manusia (economic man) untuk membuat berbagai pilihan baik bersifat individu ataupun kolektif dalam rangka memenuhi kebutuhanya.
Beberapa ekonom dari kalangan islam mencoba
memberikan pemikiran yang menyatakan bahwa permasalahan ekonomi tidaklah linier
seperti apa yang didefinisikan oleh ekonom konvensional. Bahwa kelangkaan
menjadi sebab utama dari permasalahan ekonomi tidaklah benar. Dan ketidak
terbatasan keinginan manusia terhadap kebutuhan barang dan jasa masih menjadi perdebatan.
Sistem ekonomi islam meyakini bahwa Allah SWT
menciptakan alam raya, termasuk bumi beserta isinya, cukup untuk memenuhi
kebutuhan seluruh umat manusia (Sakti, 2007). Sehingga kelangkaan pada dasarnya
tidak menjadi masalah dalam perspektif ekonomi islam.
Baqir as Sadr berpendapat bahwa sumber daya
hakikatnya melimpah dan tidak terbatas (Karim, Ekonomi Mikro Islam, 2003).
Pendapat ini didasarkan oleh dalil Al-Quran:
“Sesungguhnya telah Kami ciptakan segala sesuatu
dalam ukuran yang setepat-tepatnya” (54:49).
Dengan demikin, karena segala sesuatu telah
terukur dengan sempurna, maka pasti Allah telah memberikan sumber daya yang
cukup bagi seluruh manusia. Baqr as Sadr juga menolak pendapat yang menyatakan
bahwa keinginan manusia tidak terbatas, ia berpendapat bahwa manusia akan
berhenti mengkonsumsi suatu barang atau jasa apabila tingkat kepuasan terhadap
barang dan jasa tersebut menurun atau nol (Sadr, 1983). Namun yang menjadi
permasalahan utama dari ilmu ekonomi adalah adanya ketimpangan sumber daya yang
tidak merata diantara manusia (Karim, Ekonomi Mikro Islam, 2003). Walaupun
demikian, dalam literatur ekonomi islam ditemukan beberapa mazhab yang
memberikan definisi yang berbeda tentang permasalahan ekonomi tersebut.
Masalah
kelangkaan ini sebenarnya cukup masuk akal dan wajar ketika dasar argumennya
menggunakan asumsi kepentingan dan kepuasan individu dengan sistem pasar bebas
(Sakti, 2007), yang cenderung tidak adil karena memang sistem ekonomi ini tidak
memberikan akomodasi bagi individu-individu yang tidak memiliki sumber
daya.
Hidup
manusia bukan hanya didunia, tetapi terus berlanjut hingga alam setelah dunia
(akhirat). Allah menandaskan bahwa manusia diciptakan didunia untuk berjuang
(QS 90:4). Perjuangan ini akan mendapatkan ganjaran, baik didunia maupun di
akhirat. Perbuatan baik dibalas dengan kebaikan yang berlipat-lipat, perbuatan
jahat dibalas dengan hukuman yang setimpal. Imam Al-Ghazali menyatakan motifasi
para pelaku bisnis adalah untuk mendapatkan laba. Laba dunia dan laba akhirat.
Karena itu konsep profit mendapat legitimasi dalam islam (Karim, Ekonomi Mikro
Islam, 2003).
Orientasi
ekonomi islam tidak sempit hanya bertujuan pada pencapaian materi saja, tetapi
juga pencapaian spiritual. Ekonomi merupakan salah satu wajah ibadah dalam
bentuk muamalah, dimana tujuan akhir ekonomi dalam perspektif islam adalah
mendapatkan keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan dunia dan akherat (falah)
(Sakti, 2007). Untuk itu para pelaku muamalah harus merujuk pada segala
tuntunan Allah SWT untuk memperoleh falah tersebut, sesuai apa yang telah
disyariatkan-Nya.
Contohnya
yaitu, Ust. Ahmad Bisyri, Lc., MA. pernah memberikan contoh bahwa beliau pernah
terbang naik pesawat ke kalimantan, dan beliau menceritakan disana masih banyak
pulau-pulau yang cukup besar seukuran kelurahan dan/atau lebih, dan di pulau
kalimantan sendiri pun masih banyak tanah lapang dan tanah kosong (selain
hutan), yang cukup untuk ditinggali beberapa rumah tangga. Jadi ketika ekonomi
konvensional menyatakan bahwa sumber daya yang terbatas dengan asumsi mereka,
karena sempitnya mencari lahan kosong untuk tempat tinggal dan padatnya
penduduk maka itu asumsi mereka, dengan asumsi melaksanakan program Keluarga
Berencana (KB) sebagai solusi permasalahan kelangkaan tersebut, itu salah
besar.
Memang benar
jika berasumsi bahwa sumber daya di Jakarta terbatas, dari tanahnya, air
bersihnya, tempat tinggalnya, hingga makanannya. Tetapi Indonesia luas dan
masih banyak tempat yang bisa di huni, dan Allah SWT telah menyebarkan rizkinya
di segala penjuru bumi kepada seluruh umat manusia dari Nabi Adam hingga
manusia terakhir terlahir dibumi, sejak bumi ini diciptakan. Dan Allah pula
yang menjamin rizki setiap individu di dunia ini, dan tidak perlu khawatir
punya anak banyak karena takut sumber daya yang terbatas. Jadi kesimpulannya
memang benar bahwa masalah utama ekonomi adalah karna sistem distribusi yang
tidak merata. Contoh lain bahwa kepuasan manusia terbatasa yaitu, manusia akan
berhenti minum jika dahaganya sudah terpuaskan.
2) Dalam
kajian ilmu ekonomi, dikenal istilah ekonomi positif (positif economics) dan
ekonomi normatif (normatif economics). Ekonomi konvensional melihat bentuk
ekonomi pada dua kondisi ekstrim statis tersebut (positih atau normatif),
memisahkan antara keduanya.
Berbeda
dengan ekonomi konvensional, dalam mempelajari ekonomi islam tidak membedakan
antara ilmu ekonomi positif dan ilmu ekonomi normatif (Karim, Ekonomi Mikro
Islam, 2003). Artinya, segala ilmu ekonomi positif hakekatnya adalah ilmu ekonomi
normatif.
Dalam
literatur konvensional kita mengenal bahwa ilmu ekonomi positif membahas atau
mempelajari tentang apa dan bagaimana masalah-masalah ekonomi sebenarnya
diselesaikan. Sedangkan ilmu ekonomi normatif membahas tentang apa yang seharusnya
(value judgement) dilakukan (Karim, 2003). Akan tetapi dalam kenyataanya
permasalahan ekonomi selalu dijelaskan dan diselesaikan dengan mengunakan
beberapa asumsi yang sekiranya sesuai dengan kenyataannya. Memasukkan unsur
asumsi berarti sama halnya memasukkkan pemikiran atau pendapat yang bersifat
normatif, yang boleh jadi asumsi antara satu orang dengan orang lain berbeda
walau dalam permasalahan yang sama, dan asumsi pun belum tentu terpenuhi.
Ilmu ekonomi
konvensional melakukan pemisahan secara tegas antara aspek positif dan
nornatif. Pemisahan aspek positif dan normatif mengandung implikasi bahwa fakta
ekonomi merupakan sesuatu yang independen terhadap norma; tidak ada kausalitas
antara norma dengan fakta dan karenanya bersifat objektif (P3EI UII, 2008).
Salah satu pemikir ekonomi islam terhadap ilmu ekonomi konvensional, terutama
kapitalisme, adalah kecenderungan untuk mengklaim bebas nilai (value free),
serta mengabaikan pertimbangan moral.
Ekonomi
islam pada dasarnya mengedepankan pendekatan integratif antara normatif dan
positif. Ekonomi islam hanya akan dihasilkan melalui integrasi norma dan ilmu
ekonomi (P3EI UII, 2008). Dalam bukunya yang fenomenal (Iqtisaduna, Our
Economics), Baqir as Sadr memberikan penjelasan yang cukup jelas bahwa ekonomi
konvensional tidak memasukkan unsur norma ataupun tata aturan tertentu dalam
teori atau hukum-hukumnya. Sedangkan ekonomi islam adalah ilmu ekonomi murni
yang memasukkan norma atau tata aturan tertentu sebagai variabel yang secara
langsung atau tidak langsung ikut mempengaruhi fenomena ekonomi (Sadr, 1983).
Norma atau tata aturan tersebut berasal dari Allah SWT yang meliputi
batasan-batasan dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Contohnya
yaitu, dengan kondisi ekonomi yang sangat kropos disegala sektor, hutang dan
kemiskinan tidak bisa dihindari lagi hampir di setiap negara di dunia pada
umumnya, dan Indonesia pada khususnya. Kebijakan pembebanan wajib zakat dan
nawaib bagi para muzakki (orang wajib zakat) akan jadi solusi yang sangat efektif
bila diterapkan di Indonesia. Kalau kita menggunakan pendakatan ilmu ekonomi
konvensional maka kebijakan ini tidaklah masuk akal, menurut asumsi-asumsi
mereka. Mulai dari asumsi bahwa tidak ada hak orang miskin dari harta yang
dimiliki orang kaya, karna menurut mereka bahwa harta yang mereka miliki adalah
hasil dari usahanya begitu pula bagi orang miskin bahwa itu hasil cerminan
upayanga. Hingga asumsi bahwa zakat akan memberikan pengaruh mental
meminta-minta bagi para mustahik. Asumsi normatif yang adil menurut mereka
adalah cukup dengan pajak.
Akan tetapi
sangat berbeda ketika kita memakai pendekatan ekonomi islam, bahwa dengan zakat
dan nawaib selain bisa mensucikan dan melipat gandakan mereka yang membayar
zakat, juga sebagai alat ibadah yang memberikan kemanfaatan kolektif bagi
orang-orang dilingkungan yang menjalankan sistem zakat ini (Sakti, 2007). Pun
juga sesuai dengan syariat islam yaitu wajib zakat bagi para muzakki, dan muara
yang dituju yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan akhrat (falah).
3) Mekanisme
pasar merupakan interaksi antara permintaan dan penawaran dalam pasar. Dengan
teori homo economicus-nya ekonomi konvensional, maka setiap individu dalam
mekanisme pasar memiliki kebebasan penuh untuk mengejar self interest-nya dan
untuk memiliki serta mengelola sumber dayanya sendiri.
Konsep adil
memang bukan hanya milik ekonomi islam, konsep adil juga dimiliki oleh ekonomi
kapitalisme dan ekonomi sosialisme. Bila kapitalisme klasik mendefinisaikan
adil sebagai “you get what you deserved”, sedangkan sosialisme klasik
mendefinisikan adil sebagai “no one has a privilage to get more than others”,
maka islam mendefinisikan adil sebagai “la tazhlimuuna wala tuzhlamuuna”
(Karim, Ekonomi Mikro Islam, 2003).
Ekonomi konvensional
dengan teori homo economicus-nya berparan dengan sangat nyata dalam membentuk
karakter individu-individunya yang cenderung bersifat konsumeristik,
materialistik, dan individualistik dalam setiap tindakannya. Yang kemudian
menggerogoti perekonomian dunia, yang terlihat dari corak konsumsinya yang
bermewah-mewahan, padahal disisi lain tingkat kemiskinan dan tingkat
pengangguran yang sangat tinggi.
Permasalahan-permasalahan
sosial yang muncul dalam ekonomi seperti kesenjangan sosial, kemiskinan,
kriminalitas, pengangguran, dan lain-lain, masih terus menjadi rapor merah.
Tidak bisa dipungkiri pula bahwa selama abad 20 ekonomi kapitalis telah
memberikan kontribusinya selain megahnya pembangunan fisik ekonomi, juga
kemudahan fasilitas hidup, dan perkembangan teknologi. Akan tetapi disisi lain
terdapat data-data yang begitu jelas menunjukkan goncangan-goncangan ekonomi
dan implikasi-implikasi negatif (Sakti, 2007).
Sistem
ekonomi kapitalis berasumsi bahwa nilai-nilai awal yang digunakan adalah nilai
yang memang telah menjadi kecenderungan bebas manusia, artinya tidak ada
intervensi dari faktor-faktor eksternal dari diri manusia dan murni dari
pemikiran manusia. Sementara dalam sistem ekonomi islam memiliki asumsi awal
bahwa manusia hendaknya mengerti, memahami, dan mengikuti nilai, prinsip dan
aturan yang ada dalam islam (Sakti, 2007). Artinya segala perilaku manusia
dalam aktifitas ekonomi bersumber dari akidah, akhlak, dan syariah islam.
Umer Chapra
(2000) pernah menjelaskan, bahwa contoh yang sangat jelas adalah ketika
kapitalisme mendefinisikan kepuasan ekonomi direpresentasikan dengan jumlah
materi yang dapat dimiliki. Materi yang dimiliki itulah yang menjadi parameter
status sosial pelaku ekonomi.
Pada
dasarnya mekanisme pasar perekonomian islam dan konvensional memiliki
karakteristik yang sama yaitu mekanisme pasar bebas, tapi yang membedakan
adalah mekanisme pengawasan dalam pasar islam (Sakti, 2007). Selama mekanisme
pasar berjalan dengan adil dan tidak mengancam terpenuhinya kebutuhan dasar
seluruh rakyat, maka negara dalam hal ini tidak berhak mengintervensi pasar
dalam bentuk apapun. Jadi jelas bahwa kebebasan mekanisme pasar dalam islam
sangat diakui dan dijaga sepanjang ketentuan dan tujuan syariah dapat terlaksana
dengan baik. Dan harga secara murni ditentukan penuh oleh mekanisme permintaan
dan penawaran.
Dalam konsep
ekonomi islam, penentuan harga dilakukan oleh kekuatan permintaan dan kekuatan
penawaran. Dalam konsep islam, pertemuan permintaan dan penawaran tersebut
haruslah terjadi secara rela sama rela (Karim, Ekonomi Mikro Islam, 2003).
Islam mengatur pasar agar persaingan di pasar dilakukan dengan adil, tetapi
jika terjadi kegagalan pasar di luar pasar diluar sebab-sebab ketidak adilan
dari pelaku pasar negara boleh melakukan intervensi sepanjang kegagalan
tersebut mengancam kebutuhan dasar rakyat. Dan dalam prakteknya peran lembaga
pengawas pasar (Al Hisbah) sangat signifikan dan sangat dibutuhkan
keberadaannya dalam perekonomian islam (Sakti, 2007). Menurut Akram Khan
lembaga hisbah bukan hanya mengawasi kegiatan-kegiatan pasar tapi juga
memberikan atau menyediakan segala fasilitas yang dibutuhkan oleh pasar
sehingga memudahkan semua pelaku pasar. Sehingga sedapat mungkin sistem ekonomi
islam melalui kebijakan-kebijakan dan institusi-institusi yang ada menekan
semua hambatan bagi siapa saja yang ingin dan apa saja yang akan masuk ke pasar
(Sakti, 2007). Dan ini sangat memungkinkan bisa mengentaskan
prmasalahan-permasalahan yang masih menjadi rapor merah perekonomian dunia saat
ini seperti kesenjangan sosial, kemiskinan, kriminalitas, pengangguran, dan
lain-lain.
4) Homo
economicus menyederhanakan perilaku manusia (economicus man) bersifat self
interest (bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri). Dalam teori invisible
hand-nya Adam Smith, dikatatakan bahwa setiap orang (economic man) dalam
mengejar kepentinganya sendiri akan memajukan kepentingan umum.
Self
interest tidak harus selalu berarti memeperbanyak kekayaan seseorang dalam
satuan mata uang tertentu (Karim, Ekonomi Mikro Islam, 2003). Kita berasumsi
bahwa individu mengejar berbagai tujuan, bukan hanya memperbanyak kekayaan
secara moneter. Dengan demikian self interest juga mencakup tujuan-tujuan yang
berhubungan dengan persahabatan, kekuasaan, menolong sesama, penciptaan karya
seni, cinta, dan lain-lain. Dapat juga self interest yang tercerahkan, dimana
individu-individu dalam rangka untuk mencapai sesuatu yang menjadikan mereka
lebih baik, pada saat yang sama membuat orang-orang disekelilingnya menjadi
lebih baik pula.
Adam Smith
mengemukakan bahwa pasar akan diatur oleh tangan-tangan yang tidak terliahat
(invisible hands). Hal ini terkait dengan kritikan Adam Smith terhadap konsep
kaum Markentilis akan perlunya intervensi negara untuk mengatur pasar. Berdasarkan penjelasan itu
(bahwa Adam Smith banyak merujuk pada perekonomian Islam) bukan tidak mungkin
konsep Invisible Hands ini diilhami oleh hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan
bahwa Allah lah yang menentukan harga (Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian
Kontemporer, 2001). Konsep Invisible Hands ini lebih tepat dikatakan sebagai
God’s Hands.
Perbedaan,
Adam Smith menolak intervensi pasar (market intervention) secara menyeluruh,
sedangkan reaksi ekonomi islam ditentukan oleh penyebab naiknya harga. Bila
penyebabnya adalah perubahan supply dan demand, tindakan yang diambil adalah
market intervention; namun bila penyebabnya bukan pada perubahan supply dan
demand, tindakan yang tepat adalah price intervention dengan tujuan untuk
mengembalikan harga keseimbangan (Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian
Kontemporer, 2001).
Contohnya
yaitu, intervensi pasar yang dilakukan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin adalah
melalui sisi permintaan dan pasokan. Pada sisi pasokan, intervensi dilakukan
dengan mengatur jumlah barang yang ditawarkan seperti yang dilakukan dengan
mengatur jumlah barang yang ditawarkan seperti yang dilakukan Umar bin
Khaththab r.a. ketika mengimpor gandum dari mesir untuk mengendalikan harga
gandum di Madinah. Selain itu,
intervensi sisi pasokan dilakukan dengan pengawasan pasar (Al-Hisbah)
yang akan menindak pihak-pihak yang berbuat curang di pasar (Karim, Ekonomi
Mikro Islam, 2003).
Pada dasarnya intervensi pasar adalah
hal haram dan terlarang, sejauh anggota masyarakat tidak keluar dari aturan.
Jika pemerintah melakukan intervensi, maka dibutuhkan dasar legal (An-Nabahan,
2000). Tujuan utamanya agar intervensi berjalan sesuai idaman semula, yaitu
menjaga kesejahteraan bersama. Ketika dasar legal telah ada, maka intervensi
(dalam sebagian kasus) bukan saja sah, tapi ada yang sampai wajib. Misalnya
intervensi pemerintah pada suatu perusahaan, yang dalam produksinya telah
membahayakan rakyat, atau membuat pihak lain menderita. Coba bayangkan apabila
tidak adanya campur tangan atau intervensi dari pemerintah maka bisa dikatakan
bahwa pemilik telah melakukan tindakan untuk kepentingan sendiri (self
interest) yang salah, walaupun sudah sesuai dengan mekanisme pasar dan tidak
ada intervensi dari pemerintah.
Intervensi sangat berlawanan dengan
hak dan kemerdekaan individu dalam berkarya, kreasi, dan berinisiatif. Adapun
hal-hal yang melegalkan intervensi seperti untuk merealisasikan program
syariah, menjaga kesejahteraan masyarakat, membentengi dasar-dasar moral
(An-Nabahan, 2000). Dan batasan-batasan yang harus diperhatikan dan harus
dilakukan saat intervensi oleh pemerintah, yaitu berorientasi kesejahteraan
sosial, melaksanakan program syariah, intervensi sebatas yang dibutuhkan saja,
tidak melampaui batas-batas kewenangan intervensi, dan harus memberi ganti rugi
pada pihak objek intervensi (An-Nabahan, 2000).
Daftar
Pustaka
An-Nabahan,
M. F. (2000). Sistem Ekonomi Islam : Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis
dan Sosialis. (H. M. Zainuddin, & A. B. Noersalim, Trans.) Yogyakarta: UII
Press.
Karim, A. A.
(2001). Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema Insani.
Karim, A. A.
(2003). Ekonomi Mikro Islam (2nd Edition ed.). (I. Masruroh, Ed.) Jakarta: IIIT
Indonesia.
P3EI UII.
(2008). Ekonomi Islam. Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA.
Sadr, B. a.
(1983). Iqtisaduna, Our Economics (First Edition ed., Vol. II). Tehran: WOFIS.
Sakti, A.
(2007). Ekonomi Islam : Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern. (S. Abilawa,
Ed.) Jakarta: PARADIGMA & AQSA Publishing.
0 komentar:
Posting Komentar