Minggu, 01 Februari 2015

PROBLEMATIKA EKONOMI MIKRO ISLAM



Mata Kuliah : Ekonomi Mikro Islam (UTS)
Semester    : III (Tiga)
Dosen           : Azis Budi Setiawan, SEI., MM/ Ahmad Baehaqi, SEI

  Hari/Tanggal  : Senin, 4 November 2013
  Nama        : Adi Angga Sukmana
  NIM              : 41201002




1) Dalam berbagai literatur konvensional dijelaskan bahwa masalah utama dalam ilmu ekonomi adalah kebutuhan manusia yang tidak terbatas dihadapkan pada sumber daya ekonomi sebagai alat kebutuhan yang terbatas sehingga menyebabkan kelangkaan (scarcity). Kondisi tersebut memaksa manusia (economic man) untuk membuat berbagai pilihan baik bersifat individu ataupun kolektif dalam rangka memenuhi kebutuhanya.
Beberapa ekonom dari kalangan islam mencoba memberikan pemikiran yang menyatakan bahwa permasalahan ekonomi tidaklah linier seperti apa yang didefinisikan oleh ekonom konvensional. Bahwa kelangkaan menjadi sebab utama dari permasalahan ekonomi tidaklah benar. Dan ketidak terbatasan keinginan manusia terhadap kebutuhan barang dan jasa masih menjadi perdebatan.
Sistem ekonomi islam meyakini bahwa Allah SWT menciptakan alam raya, termasuk bumi beserta isinya, cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia (Sakti, 2007). Sehingga kelangkaan pada dasarnya tidak menjadi masalah dalam perspektif ekonomi islam.
Baqir as Sadr berpendapat bahwa sumber daya hakikatnya melimpah dan tidak terbatas (Karim, Ekonomi Mikro Islam, 2003). Pendapat ini didasarkan oleh dalil Al-Quran:
“Sesungguhnya telah Kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya” (54:49).
Dengan demikin, karena segala sesuatu telah terukur dengan sempurna, maka pasti Allah telah memberikan sumber daya yang cukup bagi seluruh manusia. Baqr as Sadr juga menolak pendapat yang menyatakan bahwa keinginan manusia tidak terbatas, ia berpendapat bahwa manusia akan berhenti mengkonsumsi suatu barang atau jasa apabila tingkat kepuasan terhadap barang dan jasa tersebut menurun atau nol (Sadr, 1983). Namun yang menjadi permasalahan utama dari ilmu ekonomi adalah adanya ketimpangan sumber daya yang tidak merata diantara manusia (Karim, Ekonomi Mikro Islam, 2003). Walaupun demikian, dalam literatur ekonomi islam ditemukan beberapa mazhab yang memberikan definisi yang berbeda tentang permasalahan ekonomi tersebut.
          

Masalah kelangkaan ini sebenarnya cukup masuk akal dan wajar ketika dasar argumennya menggunakan asumsi kepentingan dan kepuasan individu dengan sistem pasar bebas (Sakti, 2007), yang cenderung tidak adil karena memang sistem ekonomi ini tidak memberikan akomodasi bagi individu-individu yang tidak memiliki sumber daya.   
Hidup manusia bukan hanya didunia, tetapi terus berlanjut hingga alam setelah dunia (akhirat). Allah menandaskan bahwa manusia diciptakan didunia untuk berjuang (QS 90:4). Perjuangan ini akan mendapatkan ganjaran, baik didunia maupun di akhirat. Perbuatan baik dibalas dengan kebaikan yang berlipat-lipat, perbuatan jahat dibalas dengan hukuman yang setimpal. Imam Al-Ghazali menyatakan motifasi para pelaku bisnis adalah untuk mendapatkan laba. Laba dunia dan laba akhirat. Karena itu konsep profit mendapat legitimasi dalam islam (Karim, Ekonomi Mikro Islam, 2003).
Orientasi ekonomi islam tidak sempit hanya bertujuan pada pencapaian materi saja, tetapi juga pencapaian spiritual. Ekonomi merupakan salah satu wajah ibadah dalam bentuk muamalah, dimana tujuan akhir ekonomi dalam perspektif islam adalah mendapatkan keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan dunia dan akherat (falah) (Sakti, 2007). Untuk itu para pelaku muamalah harus merujuk pada segala tuntunan Allah SWT untuk memperoleh falah tersebut, sesuai apa yang telah disyariatkan-Nya.
Contohnya yaitu, Ust. Ahmad Bisyri, Lc., MA. pernah memberikan contoh bahwa beliau pernah terbang naik pesawat ke kalimantan, dan beliau menceritakan disana masih banyak pulau-pulau yang cukup besar seukuran kelurahan dan/atau lebih, dan di pulau kalimantan sendiri pun masih banyak tanah lapang dan tanah kosong (selain hutan), yang cukup untuk ditinggali beberapa rumah tangga. Jadi ketika ekonomi konvensional menyatakan bahwa sumber daya yang terbatas dengan asumsi mereka, karena sempitnya mencari lahan kosong untuk tempat tinggal dan padatnya penduduk maka itu asumsi mereka, dengan asumsi melaksanakan program Keluarga Berencana (KB) sebagai solusi permasalahan kelangkaan tersebut, itu salah besar.
Memang benar jika berasumsi bahwa sumber daya di Jakarta terbatas, dari tanahnya, air bersihnya, tempat tinggalnya, hingga makanannya. Tetapi Indonesia luas dan masih banyak tempat yang bisa di huni, dan Allah SWT telah menyebarkan rizkinya di segala penjuru bumi kepada seluruh umat manusia dari Nabi Adam hingga manusia terakhir terlahir dibumi, sejak bumi ini diciptakan. Dan Allah pula yang menjamin rizki setiap individu di dunia ini, dan tidak perlu khawatir punya anak banyak karena takut sumber daya yang terbatas. Jadi kesimpulannya memang benar bahwa masalah utama ekonomi adalah karna sistem distribusi yang tidak merata. Contoh lain bahwa kepuasan manusia terbatasa yaitu, manusia akan berhenti minum jika dahaganya sudah terpuaskan.


2) Dalam kajian ilmu ekonomi, dikenal istilah ekonomi positif (positif economics) dan ekonomi normatif (normatif economics). Ekonomi konvensional melihat bentuk ekonomi pada dua kondisi ekstrim statis tersebut (positih atau normatif), memisahkan antara keduanya.
Berbeda dengan ekonomi konvensional, dalam mempelajari ekonomi islam tidak membedakan antara ilmu ekonomi positif dan ilmu ekonomi normatif (Karim, Ekonomi Mikro Islam, 2003). Artinya, segala ilmu ekonomi positif hakekatnya adalah ilmu ekonomi normatif.
Dalam literatur konvensional kita mengenal bahwa ilmu ekonomi positif membahas atau mempelajari tentang apa dan bagaimana masalah-masalah ekonomi sebenarnya diselesaikan. Sedangkan ilmu ekonomi normatif membahas tentang apa yang seharusnya (value judgement) dilakukan (Karim, 2003). Akan tetapi dalam kenyataanya permasalahan ekonomi selalu dijelaskan dan diselesaikan dengan mengunakan beberapa asumsi yang sekiranya sesuai dengan kenyataannya. Memasukkan unsur asumsi berarti sama halnya memasukkkan pemikiran atau pendapat yang bersifat normatif, yang boleh jadi asumsi antara satu orang dengan orang lain berbeda walau dalam permasalahan yang sama, dan asumsi pun belum tentu terpenuhi.
Ilmu ekonomi konvensional melakukan pemisahan secara tegas antara aspek positif dan nornatif. Pemisahan aspek positif dan normatif mengandung implikasi bahwa fakta ekonomi merupakan sesuatu yang independen terhadap norma; tidak ada kausalitas antara norma dengan fakta dan karenanya bersifat objektif (P3EI UII, 2008). Salah satu pemikir ekonomi islam terhadap ilmu ekonomi konvensional, terutama kapitalisme, adalah kecenderungan untuk mengklaim bebas nilai (value free), serta mengabaikan pertimbangan moral.
          

Ekonomi islam pada dasarnya mengedepankan pendekatan integratif antara normatif dan positif. Ekonomi islam hanya akan dihasilkan melalui integrasi norma dan ilmu ekonomi (P3EI UII, 2008). Dalam bukunya yang fenomenal (Iqtisaduna, Our Economics), Baqir as Sadr memberikan penjelasan yang cukup jelas bahwa ekonomi konvensional tidak memasukkan unsur norma ataupun tata aturan tertentu dalam teori atau hukum-hukumnya. Sedangkan ekonomi islam adalah ilmu ekonomi murni yang memasukkan norma atau tata aturan tertentu sebagai variabel yang secara langsung atau tidak langsung ikut mempengaruhi fenomena ekonomi (Sadr, 1983). Norma atau tata aturan tersebut berasal dari Allah SWT yang meliputi batasan-batasan dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Contohnya yaitu, dengan kondisi ekonomi yang sangat kropos disegala sektor, hutang dan kemiskinan tidak bisa dihindari lagi hampir di setiap negara di dunia pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya. Kebijakan pembebanan wajib zakat dan nawaib bagi para muzakki (orang wajib zakat) akan jadi solusi yang sangat efektif bila diterapkan di Indonesia. Kalau kita menggunakan pendakatan ilmu ekonomi konvensional maka kebijakan ini tidaklah masuk akal, menurut asumsi-asumsi mereka. Mulai dari asumsi bahwa tidak ada hak orang miskin dari harta yang dimiliki orang kaya, karna menurut mereka bahwa harta yang mereka miliki adalah hasil dari usahanya begitu pula bagi orang miskin bahwa itu hasil cerminan upayanga. Hingga asumsi bahwa zakat akan memberikan pengaruh mental meminta-minta bagi para mustahik. Asumsi normatif yang adil menurut mereka adalah cukup dengan pajak.
Akan tetapi sangat berbeda ketika kita memakai pendekatan ekonomi islam, bahwa dengan zakat dan nawaib selain bisa mensucikan dan melipat gandakan mereka yang membayar zakat, juga sebagai alat ibadah yang memberikan kemanfaatan kolektif bagi orang-orang dilingkungan yang menjalankan sistem zakat ini (Sakti, 2007). Pun juga sesuai dengan syariat islam yaitu wajib zakat bagi para muzakki, dan muara yang dituju yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan akhrat (falah).


3) Mekanisme pasar merupakan interaksi antara permintaan dan penawaran dalam pasar. Dengan teori homo economicus-nya ekonomi konvensional, maka setiap individu dalam mekanisme pasar memiliki kebebasan penuh untuk mengejar self interest-nya dan untuk memiliki serta mengelola sumber dayanya sendiri.
Konsep adil memang bukan hanya milik ekonomi islam, konsep adil juga dimiliki oleh ekonomi kapitalisme dan ekonomi sosialisme. Bila kapitalisme klasik mendefinisaikan adil sebagai “you get what you deserved”, sedangkan sosialisme klasik mendefinisikan adil sebagai “no one has a privilage to get more than others”, maka islam mendefinisikan adil sebagai “la tazhlimuuna wala tuzhlamuuna” (Karim, Ekonomi Mikro Islam, 2003).
Ekonomi konvensional dengan teori homo economicus-nya berparan dengan sangat nyata dalam membentuk karakter individu-individunya yang cenderung bersifat konsumeristik, materialistik, dan individualistik dalam setiap tindakannya. Yang kemudian menggerogoti perekonomian dunia, yang terlihat dari corak konsumsinya yang bermewah-mewahan, padahal disisi lain tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran yang sangat tinggi.
Permasalahan-permasalahan sosial yang muncul dalam ekonomi seperti kesenjangan sosial, kemiskinan, kriminalitas, pengangguran, dan lain-lain, masih terus menjadi rapor merah. Tidak bisa dipungkiri pula bahwa selama abad 20 ekonomi kapitalis telah memberikan kontribusinya selain megahnya pembangunan fisik ekonomi, juga kemudahan fasilitas hidup, dan perkembangan teknologi. Akan tetapi disisi lain terdapat data-data yang begitu jelas menunjukkan goncangan-goncangan ekonomi dan implikasi-implikasi negatif (Sakti, 2007).
          


Sistem ekonomi kapitalis berasumsi bahwa nilai-nilai awal yang digunakan adalah nilai yang memang telah menjadi kecenderungan bebas manusia, artinya tidak ada intervensi dari faktor-faktor eksternal dari diri manusia dan murni dari pemikiran manusia. Sementara dalam sistem ekonomi islam memiliki asumsi awal bahwa manusia hendaknya mengerti, memahami, dan mengikuti nilai, prinsip dan aturan yang ada dalam islam (Sakti, 2007). Artinya segala perilaku manusia dalam aktifitas ekonomi bersumber dari akidah, akhlak, dan syariah islam.
Umer Chapra (2000) pernah menjelaskan, bahwa contoh yang sangat jelas adalah ketika kapitalisme mendefinisikan kepuasan ekonomi direpresentasikan dengan jumlah materi yang dapat dimiliki. Materi yang dimiliki itulah yang menjadi parameter status sosial pelaku ekonomi.
Pada dasarnya mekanisme pasar perekonomian islam dan konvensional memiliki karakteristik yang sama yaitu mekanisme pasar bebas, tapi yang membedakan adalah mekanisme pengawasan dalam pasar islam (Sakti, 2007). Selama mekanisme pasar berjalan dengan adil dan tidak mengancam terpenuhinya kebutuhan dasar seluruh rakyat, maka negara dalam hal ini tidak berhak mengintervensi pasar dalam bentuk apapun. Jadi jelas bahwa kebebasan mekanisme pasar dalam islam sangat diakui dan dijaga sepanjang ketentuan dan tujuan syariah dapat terlaksana dengan baik. Dan harga secara murni ditentukan penuh oleh mekanisme permintaan dan penawaran.
Dalam konsep ekonomi islam, penentuan harga dilakukan oleh kekuatan permintaan dan kekuatan penawaran. Dalam konsep islam, pertemuan permintaan dan penawaran tersebut haruslah terjadi secara rela sama rela (Karim, Ekonomi Mikro Islam, 2003). Islam mengatur pasar agar persaingan di pasar dilakukan dengan adil, tetapi jika terjadi kegagalan pasar di luar pasar diluar sebab-sebab ketidak adilan dari pelaku pasar negara boleh melakukan intervensi sepanjang kegagalan tersebut mengancam kebutuhan dasar rakyat. Dan dalam prakteknya peran lembaga pengawas pasar (Al Hisbah) sangat signifikan dan sangat dibutuhkan keberadaannya dalam perekonomian islam (Sakti, 2007). Menurut Akram Khan lembaga hisbah bukan hanya mengawasi kegiatan-kegiatan pasar tapi juga memberikan atau menyediakan segala fasilitas yang dibutuhkan oleh pasar sehingga memudahkan semua pelaku pasar. Sehingga sedapat mungkin sistem ekonomi islam melalui kebijakan-kebijakan dan institusi-institusi yang ada menekan semua hambatan bagi siapa saja yang ingin dan apa saja yang akan masuk ke pasar (Sakti, 2007). Dan ini sangat memungkinkan bisa mengentaskan prmasalahan-permasalahan yang masih menjadi rapor merah perekonomian dunia saat ini seperti kesenjangan sosial, kemiskinan, kriminalitas, pengangguran, dan lain-lain.


4) Homo economicus menyederhanakan perilaku manusia (economicus man) bersifat self interest (bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri). Dalam teori invisible hand-nya Adam Smith, dikatatakan bahwa setiap orang (economic man) dalam mengejar kepentinganya sendiri akan memajukan kepentingan umum.
Self interest tidak harus selalu berarti memeperbanyak kekayaan seseorang dalam satuan mata uang tertentu (Karim, Ekonomi Mikro Islam, 2003). Kita berasumsi bahwa individu mengejar berbagai tujuan, bukan hanya memperbanyak kekayaan secara moneter. Dengan demikian self interest juga mencakup tujuan-tujuan yang berhubungan dengan persahabatan, kekuasaan, menolong sesama, penciptaan karya seni, cinta, dan lain-lain. Dapat juga self interest yang tercerahkan, dimana individu-individu dalam rangka untuk mencapai sesuatu yang menjadikan mereka lebih baik, pada saat yang sama membuat orang-orang disekelilingnya menjadi lebih baik pula.
Adam Smith mengemukakan bahwa pasar akan diatur oleh tangan-tangan yang tidak terliahat (invisible hands). Hal ini terkait dengan kritikan Adam Smith terhadap konsep kaum Markentilis akan perlunya intervensi negara untuk  mengatur pasar. Berdasarkan penjelasan itu (bahwa Adam Smith banyak merujuk pada perekonomian Islam) bukan tidak mungkin konsep Invisible Hands ini diilhami oleh hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa Allah lah yang menentukan harga (Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, 2001). Konsep Invisible Hands ini lebih tepat dikatakan sebagai God’s Hands.
Perbedaan, Adam Smith menolak intervensi pasar (market intervention) secara menyeluruh, sedangkan reaksi ekonomi islam ditentukan oleh penyebab naiknya harga. Bila penyebabnya adalah perubahan supply dan demand, tindakan yang diambil adalah market intervention; namun bila penyebabnya bukan pada perubahan supply dan demand, tindakan yang tepat adalah price intervention dengan tujuan untuk mengembalikan harga keseimbangan (Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, 2001).
Contohnya yaitu, intervensi pasar yang dilakukan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin adalah melalui sisi permintaan dan pasokan. Pada sisi pasokan, intervensi dilakukan dengan mengatur jumlah barang yang ditawarkan seperti yang dilakukan dengan mengatur jumlah barang yang ditawarkan seperti yang dilakukan Umar bin Khaththab r.a. ketika mengimpor gandum dari mesir untuk mengendalikan harga gandum di Madinah. Selain itu,  intervensi sisi pasokan dilakukan dengan pengawasan pasar (Al-Hisbah) yang akan menindak pihak-pihak yang berbuat curang di pasar (Karim, Ekonomi Mikro Islam, 2003).
Pada dasarnya intervensi pasar adalah hal haram dan terlarang, sejauh anggota masyarakat tidak keluar dari aturan. Jika pemerintah melakukan intervensi, maka dibutuhkan dasar legal (An-Nabahan, 2000). Tujuan utamanya agar intervensi berjalan sesuai idaman semula, yaitu menjaga kesejahteraan bersama. Ketika dasar legal telah ada, maka intervensi (dalam sebagian kasus) bukan saja sah, tapi ada yang sampai wajib. Misalnya intervensi pemerintah pada suatu perusahaan, yang dalam produksinya telah membahayakan rakyat, atau membuat pihak lain menderita. Coba bayangkan apabila tidak adanya campur tangan atau intervensi dari pemerintah maka bisa dikatakan bahwa pemilik telah melakukan tindakan untuk kepentingan sendiri (self interest) yang salah, walaupun sudah sesuai dengan mekanisme pasar dan tidak ada intervensi dari pemerintah.
Intervensi sangat berlawanan dengan hak dan kemerdekaan individu dalam berkarya, kreasi, dan berinisiatif. Adapun hal-hal yang melegalkan intervensi seperti untuk merealisasikan program syariah, menjaga kesejahteraan masyarakat, membentengi dasar-dasar moral (An-Nabahan, 2000). Dan batasan-batasan yang harus diperhatikan dan harus dilakukan saat intervensi oleh pemerintah, yaitu berorientasi kesejahteraan sosial, melaksanakan program syariah, intervensi sebatas yang dibutuhkan saja, tidak melampaui batas-batas kewenangan intervensi, dan harus memberi ganti rugi pada pihak objek intervensi (An-Nabahan, 2000).

Daftar Pustaka
An-Nabahan, M. F. (2000). Sistem Ekonomi Islam : Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis. (H. M. Zainuddin, & A. B. Noersalim, Trans.) Yogyakarta: UII Press.
Karim, A. A. (2001). Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema Insani.
Karim, A. A. (2003). Ekonomi Mikro Islam (2nd Edition ed.). (I. Masruroh, Ed.) Jakarta: IIIT Indonesia.
P3EI UII. (2008). Ekonomi Islam. Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA.
Sadr, B. a. (1983). Iqtisaduna, Our Economics (First Edition ed., Vol. II). Tehran: WOFIS.
Sakti, A. (2007). Ekonomi Islam : Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern. (S. Abilawa, Ed.) Jakarta: PARADIGMA & AQSA Publishing.

0 komentar:

Posting Komentar