Senin, 23 Februari 2015

MENUJU INDONESIA BERDAYA!

Tema: Gerakan Sosial Pemberdayaan Masyarakat
Minggu, 22 Februari 2015
Oleh: Adi Angga Sukmana, Mahasiswa STEI SEBI Depok

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pembangunan menurut paradigma moderniaasi lebih mengutamakan pertumbuhan dari pada pemerataan, dan kecenderungan mengutamakan pertumbuhan dibanding pemerataan itu masih menjadi pilihan sampai sekarang, maka di satu sisi pembangunan memang berbasil membuahkan pertumbuhan yang tinggi. Tetapi di pihak lain kebijakan pembangunan yang nengutamakan pertumbuban tersebut ternyata melahirkan kesenjangan-kesenjangan: kesenjangan kaya dan miskin, kesenjangan pembangunan daerah, perkotaan dan pedesaan, kesenjangan perkembangan sektor formal dan sektor informal, dan sebagainya. Dari sinilah sesungguhnya berakar berbagai isu pembangunan ekonomi yang kemudian melahirkan wacana pengembangan masyarakat.
Pengertian yang dikemukakan oleh kalangan praktisi menyatakan pemberdayaan masyarakat adalah proses belajar dan pencerahan masyarakat yang terus-menerus dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup, harkat dan martabat lewat kegiatan emansipasidan perencanaan sosial yang terencana, terarah, dan terkendalai secara berurutan. (M. Habib Chirzin, 1995)
Dari pengertian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan, pemberdayaan masyarakat tidak hanya sekedar membantu masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah yang di hadapi. Lebih dari itu, pemberdayaan masyarakat dimaksudkan terutama sebagai usaha untuk membangun kemandirian masyarakat. Kemandirian dalam konteks ini mempunyai makna bahwa masyarakat mampu mengupayakan sendiri kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring atas kehidupan mereka, sehingga mereka mampu mengatasi permasalah secara mandiri. Singkatnya, pengembangan masyarakat adalah membangun kemandirian masyarakat agar mereka terbebas dari kemiskinan, keterbelakangan, dsb.
Pemberdayaan masyarakat tidak mungkin dilaksanakan tanpa keterlibatan dari masyarakat itu sendiri. Partisipasi bukan sekedar kehadiran mereka untuk mengikuti suatu kegiatan, melainkan dipahami sebagai kontribusi mereka dalam suatu program kerja pengembangan masyarakat. Asumsinya, bahwa masyarakatlah yang paling mengetahui kebutuhan dan permasalah yang mereka hadapi.


PROBLEMATIKA PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Model pemberdayaan masyarakat yang dilakkan oleh pemerintah umum antara lain, bisa dilihat dari program-program yang bermatra usaha ekonomi produktif berskala mikro, seperti kelompok atau warga binaan dilatih atau diberi modal agar dapat membuka koperasi, atau biasanya pemberian kambing kepada kelompok miskin untuk dikelola secara kelompok.
Tidak ada yang salah dengan model seperti itu. Hanya saja, pendekatan pemberdayaan masyarakat seperti tersebut diatas kurang efektif, dan pula tidak akan berkelanjutan. Kalau diibaratkan pemancing ikan, sekalipun kita sudah memberi mereka alat pancing dan ikannya sekaligus itu belum cukup, sebelum kita dampingi juga ke kolam, sungai, atau laut. Maka dari itu dalam upaya-upaya pemberdayaan masyarakat perlu adanya pendampingan, agar program pemberdayaan tersbut memiliki kebermanfaatan yang berkelanjutan dan bukan manfaat yang diterima sesaat, ini juga termasuk pembangunan mental bekerja, bukan mental meminta-minta.
Masalah lainnya dalam program pemberdayaan masyarakat yaitu pada target sasaran, biasanya target pemberdayaan masyarakat yaitu: pertama, cenderung banyak di laksanakan di wilayah perkotaan. Sementara itu daerah-daerah perdesaan seringkali terabaikan. Kedua, lebih banyak dilakukan di wilayah-wilayah yang dekat dengan jalan utama. Daerah-daerah terpencil yang jauh dari jalan raya kurang menarik perhatian karena sulit dijangkau dan kurang terekpose media massa. Ketiga, program pemberdayaan biasanya hanya terfokus pada penguatan modal finansial (kredit mikro, simpan pinjam). Bukan pada edukasi masyarakat, yang ini bisa mengakibatkan KKN. (Edi Suharto, 2004)

SOSOK MAHASISWA DALAM PEMBERDAYAAN EKONOMI
Salah satu eran strategis mahasiswa sebagai salah satu lapisan masyarakat yang dekat dan bisa menyentuh langsung berbagai lapisan masyarakat baik itu lapisan kelas atas, pihak berwenang maupun masyarakat bawah. Juga kelebihan lain sosok mahasiswa dibanding kelompok masyarakat lain adalah mereka memiliki kemampuan menganalisis realitas sosial. Kekuatan intelektual dan nuraninya cenderung telah menginspirasi tumbuhnya tanggungjawab dan kepekaan sosial, yaitu sebagai pembela kaum tertindas.
Tidak semua mahasiswa mempunyai kecenderungan untuk terjun di dunia sosial pemberdayaan masyarakat. Sebagian memilih menekuni dunia intelektual murni, seminar, diskusi baca buku, dan sejenisnya. Sebagian yang lain menekuni seni budaya misalnya dengan aktif di kelompok teater, group musik, drama, dan kegiatan olahraga. Dan sebagian kecil lainnya memilih menjadi aktivis gerakan mahasiswa. Salah satu karakter kelompok terakhir adalah selalu gelisah melihat fenomena sosial-politik-ekonomi yang timpang, seperti kemiskinan, ketidakadilan, penggusuran, tindak kekerasan, dan diskriminasi terutama yang menimpa kelompok masyarakat bawah dan juga korupsi yang menggurita.


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT INDONESIA
Peran mahasiswa dalam pemberdayaan masyarakat Indonesia adalah: pertama, menjadi penyumbang gagasan yang progresif bagi kepentingan pembangunan di wilayah pemikiran. Hal ini dapat dilakukan dengan berdiskusi, sharing wacana, menulis di koran, pelatihan dan penelitian; kedua, sebagai aktor pendamping rakyat di wilayah pergerakan, misalnya melakukan pendekatan kepada pemegang kebijakan, dengar pendapat dengan dewan legislatif, dan demonstrasi; ketiga, memberikan advokasi kepentingan masyarakat luas di mata negara/penguasa, seperti nasib petani, buruh, nelayan, kaum miskin juga nasib kaum marginal termasuk pesantren. (Ruchman Basori, 2011)
Ketiga peran tersebut menurut penulis sendiri masih abstrak dan bersifat makro. Namun, secara substansial, mahasiswa perlu melakukan upaya konkrit yang dimulai dari lingkup lokal tapi efektif dan efisien. Mahasiswa sebagai elemen penting masyarakat dalam pembangunan daerah, sudah seharusnya memaknai dan mewarnai setiap kebijakan pembangunan daerah. Disinilah pentingnya pemuda memposisikan diri dan mengambil peran-peran strategis dalam pembangunan daerah saat ini dan bukan lagi menjadi pihak yang berpangku tangan menunggu inisiasi dari pemerintah untuk bersama-sama berperan mengisi pembangunan daerah.

PENUTUP
Sejalan dengan semangat desentralisasi, dengan berlakunya program otonomi daerah dan wewenang yang lebih luas kepada pemerintah daerah, membuka kesempatan bagi setiap masyarakat mengisi pembangunan daerah. Seharusnya setiap kebijakan yang berkaitan dengan pemberdayaan melibatkan partisipasi masyarakat. Dengan asumsi, bahwa masyarakatlah yang paling mengetahui kebutuhan dan permasalah yang mereka hadapi. Dengan harapan setiap kebijakan bisa tepat guna dan tepat sasaran.
Peran mahasiswa disini tentu saja tidak bisa melakukan pemberdayaan seorang diri, semua steakholder harus bekerjasama dan bersinergi secara solid, sistimatis dan terencana baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, ulama, perguruan tinggi, pengusaha, organisasi masyarkat dan seluruh pihak terkait di lingkungan masyarakat turut mendukung. Namun setidaknya mahasiswa bisa menjadi motor penggerak. Jika para mahasiswa mampu memerankan dirinya sebagai aktor utama pengembangan di masing-masing lingkungan masyarakat. Wallahu A'lam Bishawab

REFERENSI
Edi Suharto, (2004) "Kebijakan Sosial dan Pengembangan Masyarakat: Perspektif Pekerjaan Sosial", http://www.policy.hu/suharto/
M. Habib Chirzin, (1995) “Pengembangan Masyarakat: Suatu Upaya Pencerahan Sosial”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm.40.
Ruchman Basori, (2011) “Mahasiswa Dan Agenda Pemberdayaan Masyarakat”, ttp://www.pondokpesantren.net/ponpren/

MEMASYARAKATKAN EKONOMI SYARIAH DI NUSANTARA

I.     PENDAHULUAN
Segala puji hanya milik Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada seluruh makhluk-Nya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada suriteladan kita, Baginda Rasulullah SAW, yang telah mengubah peradaban jahiliyah menjadi peradaban Islamiyah seperti sekarang ini. Serta keluarga dan para sahabatnya yang senantiasa mengikuti sunnah-sunnahnya dan semoga kita pun termasuk didalam barisannya. Aamiin.
Sejarah pergerakan ekonomi Islam di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1911, yaitu sejak berdirinya organisasi Syarikat Dagang Islam yang dibidani oleh para entrepreneur dan para tokoh Muslim saat itu. Walaupun saya yakini bahwa peran dan kiprah para wali di tanah jawa yang lebih dikena dengan nama “wali songo” dalam dunia penyebaran agama sekaligus mengenalkan perdagangan secara hukum syariah cukup besar.
Dalam Diskusi Ekonomi Syariah Kontemporer (DESK) dengan tema "Industri Keuangan Syariah Menyambut Keuangan Inklusif", Oleh salah satu narasumber Pak Ali Sakti, SE., M.Ec menyebutkan bahwa perkembangan ekonomi syariah  yang marak dewasa ini merupakan cerminan dan kerinduan ummat Islam Indonesia untuk kembali menghidupkan semangat untuk menjalankan muamalahnya sesuai dengan para saudagar muslim seperti masa silam khususnya dalam hal transaksi jual beli,  sebagaimana juga menjadi ajaran Nabi Muhammad Saw dan sunnah yang diteladankannya kepada umatnya.
Dalam masa yang panjang  peran umat Islam dalam dunia bisnis dan perdagangan di Indonesia cendrung termarginalkan sejak ekonomi kapital tumbuh subur di Indonesia yang pemikiranya banyak diperkenalkan oleh sarjana-sarjana pribumi yang menuntut ilmu ke negeri barat yang disana doktrin-doktrin paham paham kapitalis sangat kental.
Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia mulai mendapatkan momentumnya untuk tumbuh kembali, semenjak didirikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992, setelah mendapat legalitas formal dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Berbarengan dengan itu, tumbuh pula 78 BPR Syariah. Pada tahun 1996 berkembang pula lembaga keuangan mikro syariah BMT. Namun Lembaga Perguruan Tinggi yang mengajarkan ekonomi syariah masih sangat langka. Tercatat di tahun 90an munculah STEI SEBI di Ciputat dan STEI Tazkia di Bogor yang menjadi pionir perguruan tinggi yang berkontribusi dalam membentuk sumber daya insani di bidang ekonomi dan lembaga keuangan syariah.
Setelah terjadi krisis 1998, hampir seluruh bank konvensional dilikuidasi karena mengalami negative spread, kecuali bank yang mendapat rekap dari pemerintah melalui BLBI dalam jumlah besar mencapai Rp 650 triliun. Bank-bank konvensional itu bisa diselamatkan dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak.(Agustianto, 2011)
Krisis tersebut membawa hikmah bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang No 7/1992. Pasca UU tersebut sejumlah bank konvensional membuka unit usaha syariah. Perkembangan itu selanjutnya diikuti oleh lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya, seperti asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, sukuk, pegadaian syariah dan yang sebelumnya telah berkembang lembaga keuangan mikro syariah seperti Koperasi syariah dan BMT.
Dari perkembangan lembaga perbankan dan keuangan syariah tersebut perlu dicatat: (Agustianto, 2011)
1) Pertama, Bank syari’ah telah menunjukkan ketangguhannya dalam masa krisis moneter. Ketika bank-bank konvensional mengalami likuidasi, bank syariah dapat bertahan, karena sistemnya bagi hasil, sehingga tidak wajib membayar bunga pada jumlah tertentu kepada nasabah sebagaimana pada bank konvensional.
2) Kedua, Pemerintah telah mengorbankan kepentingan rakyat untuk membantu bank-bank raksasa agar bisa bertahan dengan BLBI yang disusul dengan  pembayaran bunga obligasi dan SBI dalam jumlah ratusan triliunan  rupiah. Secara ekonomi kenegaraan, bank-bank konvensional ribawi sesungguhnya adalah parasit bagi perekonomian negara, karena bank riba tersebut telah menguras dana APBN setiap tahun dalam jumlah yang sangat besar.
3) Ketiga, Perlu masyarakat diketahui bahwa Bank Syariah sepeserpun tidak dibantu pemerintah, sementara bank konvensional telah menguras kocek keuangan negara mencapai Rp 650 triliunan.
4) Keempat, Kredit bermasalah atau NPL  bank-bank konvensional sangat tinggi, di atas 20 %. Bahkan NPL bank terbesar mencapai 24 %. Jauh dari ketentuan Bank Indonesia yakni 5%, Sementara NPL bank syariah sangat kecil, sekitar 2 % an. Ini menunjukkan keunggulan bank syariah.
5) Kelima, FDR bank syariah senantiasa tinggi. Dalam masa yang panjang bertengger di atas 100 %. Ini menunjukkan bahwa dana pihak ketiga bersifat produktif/diinvestasikan kepada usaha masyarakat. Sementara bank konvensional cukup lama bertengger di angka 30-40 %. Walaupun kini LDRnya di atas 50% namun secara riil, fungsi intermediasinya masih  sangat rendah. Hal ini sekaligus menjadi beban negara, karena penempatan dananya di SBI meniscayakan bunga bagi pemerintah. Membayar bunga SBI tetap menjadi beban rakyat Indonesia yang mayoritas miskin.
Berdasarkan kinerja bank-bank syariah dan lembaga keuangan syariah yang sangat bagus, sementara lembaga-lembaga perbankan konvensional telah mendatangkan mafsadat dan mudarat dengan sistem riba, maka sudah menjadi keniscayaan bagi bangsa Indonesia untuk menjadikan Ekonomi Islam atau lebih dikenal Ekonomi Syariah sebagai solusi ekonomi Indonesia untuk keluar dari krisis dan lebih resisten dalam menghadapi gejolak krisis.
Sistem ekonomi ribawi bersama perangkat-perangkatnya berupa  maysir, gharar dan batil, telah terbukti membawa penderitaan yang memilukan bagi bangsa Indonesia. Sehubungan dengan itu upaya pembumian ekonomi syariah menjadi sebuah keniscayaan yang harus dan segera dilakukan.

II.  GAMBARAN KEGIATAN
Dalam liburan semester ganjil yang kurang lebih 3 (tiga) pekan lamanya, yang sebenarnya lebih banyak waktu yang tidak teroptimalkan dari pada momentum yang termanfaatkan. Itupun tersadari oleh penulis sendiri. Yang karena mungkin terlalu terbawa suasana “liburan” sehingga lebih mengoptimalkan kegiatan-kegiatan yang berbau rihlah/refresing dan bersantai, dari pada kegiatan yang lebih edukasi, eksperimen, dan maslahah.
Sesuai dengan judul artikel saya yaitu “Mensosialisasikan Ekonomi Syariah di Nusantara”, adapun beberapa kegiatan liburan yang bertujuan untuk mensosialisasikan Ekonomi Syariah di Indonesia tersebut yaitu diantaranya:

1) Membudayakan diri One Day one Juz.
Pada proses perjalananya di ODOJ ini, dan mungkin sama dengan awal mula tujuan kita semua yang tergabung dalam grup ini. Bahwa saya hanya ingin mengkoridorkan hidup saya dengan menjadi orang yang terus berbenah dan belajar, belajar untuk bisa istikomah dan ikhlas dalam serangkaian ibadah saya, belajar membiasakan sesuatu yang punya nilai manfaat dan pahala, dan belajar menjadi pribadi yang bisa mangajak dan membagikan manfaat bagi orang lain. Dan alhamdulillah kesemuanya ada di wadah ODOJ ini.
Semoga sedikit dari banyak waktu yang masih Allah beri kesempatan untuk kita dapat di hibahkan untuk serangkaian kegiatan ini, berharap kedepanya punya pahala yang baik disisinya. Ingin pila rasanya bermimpi bahwa program ODOJ ini akan mengglobal dan membudaya di seluruh negri, dan tidak hanya tren sesaat.


2) EXPO University di SMA IT Abu Bakar Yogyakarta.
Islamic Boarding and Full Day School ini beralamat di Jalan Rejowinangun No.28 E, Kotagede, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55171, Indonesia. Acara yang berlangsung hari Senin 21 Januari 2015 dari pukui 09.00-12.00WIB ini dipadati SMA dan SMK di Yogyakarta, lebih dari 20 universitas ikut berparisipasi dalam acara ini.
Acara yang dipadati oleh siswa/siswi kelas 12 yang antusias untuk melanjutkan ke perguruan tinggi ini cukup merepotkan saya dan tiga teman saya dengan pertanyaan-pertanyaan yang umumnya terkait kampus STEI SEBI, beasiswa, dan dunia perkuliahan.




3) Sosialisasi STEI SEBI dan Tes Beasiswa S1 Ekonomi Syariah di Kab. Kebumen.
Kebumen adalah sebuah Kab. di Provinsi Jawa Tengah, Dari luas wilayah Kab. Kebumen, tercatat 49.768,00 hektare atau sekitar 31,04% sebagai lahan sawah dan 108,343.50 hektare atau 68.96% sebagai lahan kering., berbatasan langsung dengan Samudra Hindia di sebelah selatan, dan bupatinya saat ini H. Buyar Winarso, SE.
Agenda yang berlangsung selama dua hari, yaitu 06-07 Februari 2015, ada 3 fokus sekolah yang saya dan teman-teman forum daerah Kab. Purworejo (5 orang) sosialisasikan di kesempatan liburan kali ini, yaitu SMAN 1 Kebumen, SMAN 2 Kebumen, dan SMKN 1 Kebumen. Dari tahun-tahun sebelumnya kami belum pernah sama sekali menyentuh Kab. kebumen sebagai target sosialisasi, dan salah satu kendala terbesar yaitu karena belum ada mahasiswa STEI SEBI yang tinggal di sana, sehingga menyulitkan bagi kami untuk mencari akses ke sekolah-sekolah di Kab. Kebumen.
Di kesempatan kali ini melalui bantuan beberapa pihak salah stunya Forum Rohis kami dapat menjangkau Kab. Kebumen. Dan alhamdulillah, kegiatan Sosialisasi STEI SEBI dan Tes Beasiswa ke Kab. Kebumen berjalan dengan lancar, berkat dukungan dari beberapa pihak dan juga antusiasme peserta yaitu kelas XII SMA dan sederajat.

4) Seminar Motivasi Tema “Kuliah, Siapa Takut?” di Kab. Wonogiri, (dan Sosialisasi STEI SEBI dan Tes Beasiswa S1 Ekonomi Syariah)
Wonogiri adalah Kab. di Jawa Tengah. Secara geografis Wonogiri berlokasi di bagian tenggara Provinsi Jawa Tengah. Bagian utara berbatasan dengan Kab. Karanganyar dan Kab. Sukoharjo, bagian selatan langsung di bibir pantai Selatan, bagian barat berbatasan dengan Gunung Kidul di Provinsi Yogyakarta, Bagian timur berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur, yaitu Kab. Ponorogo, Kab. Magetan dan Kab. Pacitan. Luas Kab. ini 1.822,37 km² dengan populasi 1,5 juta jiwa, dan Bupatinya saat ini H. Danar Rahmanto.
Sebenarnya hampir sama seperti kegiatan di Kab. Kebumen, yaitu sosialisasi STEI SEBI dan Tes Beasiswa, tetapi kali ini saya dan teman-teman forum daerah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta (11 orang) ke lebih banyak sekolah dan berkat dukungan pihak terkait kami pun mengadakan Seminar Motivasi dengan Tema “Kuliah, Siapa Takut?” yang mendapat antusias dari para peserta.
Seminar motivasi yang berlangsung pada hari Kamis 12 Februari 2015 berlangsung di Aula Masjid Agung At-Taqwa Wonogiri. Sebagai pembicara yaitu Dr. H. Gunawan Setya Adi, Lc., MA yang sekaligus sebagai Dewan Konsultan Ekonomi Islam Daerah Wonogiri. Atas dukungan berbagai pihak dan para donatur acara ini berlangsung meriah dan penuh antusias dari para peserta yang cukup beragam, ada yang dari SD, SMP, SMA, dan Guru-guru dari sekolah di Kab. Wonogiri.


5) “Talkshow Inspirasi Muda Mudi Purworejo”
Yaitu acara Talkshow yang disiarkan langsung oleh Radio Binamas 96.0 FM Purworejo hari Sabtu 14 Februari 2015 pukul 10.00-11.30 WIB.  Binamas FM adalah satu-satunya saluran Radio yang murni Islami, ini dapat dilihat dari acara siaranya yang bermanfaat dan mendidik, lagu-lagu yang diputar juga yang islami dan tidak mengundag syahwat, dan iklan-iklan yang boleh masuk yang halal. Kantor yang beralamatkan di Jln. Kemiri-Pituruh 0,5Km. Kerep, Kec. Kemiri, Kab. Purworejo, Jawa Tengah ini pemilik saham terbesarnya yaitu BMT Binamas yang juga beralamat kantor pusat di Kab. Purworejo.
Acara ini bertujuan untuk motifasi khususnya para remaja untuk terus bermimpi, terus berkarya, dan terus mengoptimalkan masa produktifnya. Dimoderatori oleh Zahra Aulia dan saya sendiri sebagai narasumber berlangsung penuh antusias dari para pendengar, itu dilihat dari beberapa respon positif dan pertanyaan-pertanyaan dari para pendengar.

III.  KESIMPULAN
Dalam pembumian ekonomi syariah perlu diperhatikan beberapa hal berikut:
1) Pertama, Peranan pemerintah menjadi penting, tidak saja dari segi regulasi dan legal formal, tetapi juga keberpihakan yang riil kepada lembaga perbankan dan keuangan syari’ah dalam kebijakan ekonomi dan pembangunan, seperti suntikan modal, pembiayaan proyek pembangunan, pendirian Asuransi Syariah dan Bank BUMN Syariah, dsb.
2) Kedua, Harus diakui bahwa, pembumian ekonomi syariah, tidak hanya bisa bergantung pada lembaga keuangan syariah itu sendiri, tidak juga hanya bergantung pada peran pakar seperti IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam), tetapi semua steakholder harus bekerjasama dan bersinergi secara solid, sistimatis dan terencana baik pemerintah (Depkeu, BI, Departemen terkait), ulama,  parlemen (DPR/DPRD), perguruan tinggi, pengusaha (hartawan muslim), ormas Islam dan masyarakat Islam pada umumnya. Mereka harus bersinergi  melakukan berbagai upaya terobosan  untuk mempercepat perkembangan ekonomiah.
3) Ketiga, Sosialisasi dan edukasi masyarakat tentang ekonomi syariah harus terus-menerus dilakukan, karena tingkat pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang ekonomi syariah masih sangat rendah. Di sinilah peran strategis mahasiswa sebagai salah satu lapisan masyarakat yang dekat dan bisa menyentuh langsung berbagai lapisan masyarakat baik itu lapisan kelas atas, pihak berwenang maupun masyarakat bawah.
Di akhir tulisan ini marilah kita berdo’a kepada Allah swt semoga dari tahun ke tahun Ekonomi Syariah yang dampak positifnya semakin terasa dapat menggurita dan membumi, dan dapat menggantikan sistem perekonomian di Indonesia, sehingga Indonesia menjadi negara yang sejahtera makmur dan penuh keadilan dalam koridor syariah  baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

VI. REVERENSI
Agustianto, (2011) “Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia”, http://www.agustiantocentre.com/

Minggu, 01 Februari 2015

PAPER INTERVENSI HARGA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM


A. PENDAHULUAN

Ajaran Islam merupakan ajaran yang menyeluruh meliputi segala aspek kehidupan, yang diturunkan khusus untuk umat di akhir zaman dengan segala permasalahan dan solusinya. (Iqbal, 2007, hal. 148) Tidak hanya sekedar membahas ritual peribadatan di masjid-masjid yang notabennya membahas hubungan manusia dengan Penciptanya (hablu minallah), namun juga membahas hubungan manusia dengan manusia (hablu minannas), termasuk di dalamnya kegiatan ekonomi.
Ekonomi dalam Islam atau yang sering disebut dengan iqtishad mengacu pada ajaran Islam, karenanya ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan (integral) dari agama Islam. Islam memandang aktifitas ekonomi secara positif. Semakin banyak manusia terlibat dalam aktivitas ekonomi maka semakin baik, sepanjang tujuan dari prosesnya sesuai dengan ajaran Islam. Ketaqwaan kepada Tuhan tidak berimplikasi pada penurunan produktivitas ekonomi, sebaliknya justru membawa seseorang untuk lebih produktif. Kekayaan dapat mendekatkan kepada Tuhan selama diperoleh dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. (P3EI (UII), 2009, hal. 13-14)
Islam memposisikan kegiatan ekonomi sebagai salah satu aspek penting untuk mendatangkan kemuliaan (falah) dan karenanya kegiatan ekonomi sebagai mana kegiatan ibadah lainnya perlu dituntun dan di kontrol agar berjalan seirama dengan ajaran Islam secara keseluruhan. (P3EI (UII), 2009, hal. 16) Dalam kaitan tersebut, Islam juga sangat menghormati kegiatan ekonomi, yang termasuk di dalamnya mekanisme pasar. Sampai-sampai Rasulullah melarang adanya inervensi terhadap pasar dan harga, karena intervensi tersebut hanya akan menimbulkan ketidak seimbangan pada pasar yang nantinya dikhawatirkan akan menyebabkan kerugian bagi penjual dan pembeli.
Kaitanya dengan intervensi harga dan pasar, memeng seharusnya pemerintah khususnya Indonesia tidak melakukan intervensi harga dan membiarkan titik keseimbangan harga pasar menentukan harga itu sendiri sesuai dengan harga yang adil yaitu ketika permintaan bertemu dengan penawaran secara bebas (‘antaradhin minkum).
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diambil pokok masalah yang kiranya layak untuk dikaji lebih mendalam, yaitu mengenai bagaimana intervensi harga dalam perspektif ekonomi Islam. Adapun tujuan dari penulisan paper ini yaitu untuk menjelaskan intervensi harga dalam perspektif Islam. Dan manfaat dari penulusan ini harapannya yang pertama untuk memperluas, meningkatkan, serta mengembangkan wawasan penulis, dan kedua sebagai nilai UAS Mata Kuliah Ekonomi Mikro Islam Semester 3/2014.

B. STUDY LITERATUR

Pasar merupakan bagian penting dalam kehidupan seorang muslim. Pasar dapat dijadikan sebagai katalisator hubungan transendental antara muslim dengan Tuhannya. (Marthon, 2007, hal. 87) Dengan kata lain, bertransaksi dalam pasar merupakan ibadah seorang muslim dalam kehidupan ekonomi. Hal tersebut pernah dilakukan oleh Rasulullah ketika hijrah ke Madinah dimana beliau banyak pergi ke pasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Definisi mengenai pasar sangat beragam, dalam buku Microeconomic Theory mendefinisikan pasar sebagai berikut: “Market is a place where buyers and sellers come together to buy and to sell their resources and goods and services”. (Algifari, 2002, hal. 8)  Pengertian tempat (place) dalam definisi ini tidak mesti tempat secara fisik, dapat saja berarti pertemuan antara penjual dan pembeli dalam bernegosiasi untuk memperoleh kesepakatan jual beli yang tidak harus bertatap muka satu sama lain. Dalam definisi lain DR. Said Sa’ad Marthon menyatakan bahwa pasar adalah sebuah mekanisme yang dapat mempertemukan pihak penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi atas barang dan jasa; baik dalam bentuk produksi maupun penentuan harga. (Marthon, 2007, hal. 85)
Mekanisme pasar adalah kebebasan sepenuhnya oleh pasar tanpa intervensi pihak manapun, yaitu terjadinya interaksi antara permintaan dan penawaran yang akan menentukan tingkat harga tertentu, yang menimbulkan terjadinya sebuah transfer barang dan jasa dari produsen kepada konsumen. (Karim A. A., 2003, hal. 13)
Aspek-aspek mekanisme pasar meliputi komoditi, pelaku pasar, dan harga. Dalam ilmu ekonomi, pelaku pasar dikategorikan menjadi tiga yaitu konsumen yang membentuk permintaan pasar, produsen yang membentuk penawaran harga, dan pemerintah yang meregulasi harga. (Sunaryo, 2001, hal. 47)
Sedangkan harga itu sendiri menurut Buchari adalah nilai suatu barang yang dinyatakan dengan uang. (Buchari, 2002) Harga juga diartikan sebagai jumlah uang sebagai alat tukar untuk memperoleh produk atau jasa. (Saladin, 2005, hal. 95) Selain itu, pengertian lain mengenai harga adalah jumlah uang yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari produk dan pelayanannya.
Adapun harga menurut ahli ekonomi Islam adalah sesuatu yang direlakan dalam akad, baik lebih sedikit, lebih besar, atau sama dengan nilai barang. Biasanya, harga dijadikan penukaran barang yang diridhai oleh kedua belah pihak. (Irawan, 2005, hal. 241)
Para ulama Islam sering mengaitkan konsep harga tersebut dengan konsep harga adil. Harga yang adil menurut Islam adalah harga yang dibayar untuk objek yang sama yang diberikan pada waktu dan tempat yang diserahkan. (Islahi, 1997, hal. 25) Mereka juga sering mengistilahkan dengan thaman al-mithl (harga yang setara/equivalen price). Sarjana muslim ternama Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Hisbah menyatakan bahwa kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan itulah esensi keadilan (nafs al-adl). (Karim, 2010, hal. 25)
Dari definisi tersebut jelaslah bahwa yang menentukan harga adalah permintaan produk/jasa oleh para pembeli dan pemasaran produk/jasa dari para pedagang. Oleh karena jumlah pembeli ada banyak, maka permintaan tersebut dinamakan permintaan pasar. Adapun penawaran pasar terdiri dari pasar monopoli, duopoli, oligopoli, dan persaingan sempurna. Jadi harga-harga yang ditentuka oleh permintaan dan penawaran pasar yang membentuk suatu titik keseimbangan yang merupakan kesepakatan antara para pembeli dan para penjual yang mana para pembeli dan penjual sama-sama memberikan ridha.
Adam Smith mengemukakan bahwa pasar akan diatur oleh tangan-tangan yang tidak terliahat (invisible hands). Hal ini terkait dengan kritikan Adam Smith terhadap konsep kaum Markentilis akan perlunya intervensi negara untuk  mengatur pasar. Berdasarkan penjelasan itu (bahwa Adam Smith banyak merujuk pada perekonomian Islam) bukan tidak mungkin konsep Invisible Hands ini diilhami oleh hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa Allah lah yang menentukan harga (Karim A. A., Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, 2001, hal. 92). Konsep Invisible Hands ini lebih tepat dikatakan sebagai God’s Hands.
Perbedaan, Adam Smith menolak intervensi pasar (market intervention) secara menyeluruh, sedangkan reaksi ekonomi islam ditentukan oleh penyebab naiknya harga. Bila penyebabnya adalah perubahan supply dan demand, tindakan yang diambil adalah market intervention; namun bila penyebabnya bukan pada perubahan supply dan demand, tindakan yang tepat adalah price intervention dengan tujuan untuk mengembalikan harga keseimbangan (Karim A. A., Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, 2001, hal. 93).
Dalam perspektif Ekonomi Konvensional, dikenal 2 penetapan harga yang lazim diterapkan, antara lain (P3EI (UII), 2009, hal. 337-338) :

1. Penetapan Harga di atas Harga Pasar (floor price)
Kebijakan ini menetapkan harga pada suatu tingkat di atas harga pasar. Hal ini biasanya digunakan untuk melindungi produsen dari harga yang terlalu rendah sehingga tidak memperoleh margin keuntungan yang memadai (bahkan merugi). Harga yang terjadi di atas kekuatan pasar dianggap tidak menguntungkan produsen sehingga harus dinaikkan oleh pemerintah. Contoh : kebijakan harga dasar gabah yang telah lama dilakukan pemerintah untuk stabilitas harga beras. Pada saat panen raya padi, maka penawaran beras di pasar mengalami kenaikan shingga secara alamiah harga akan turun.
Penetapan harga dasar ini akan menimbulkan banyak distorsi bagi perekonomian. Penetapan harga di atas harga pasar akan menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran. Kelebihan ini kemungkinan besar tidak akan diserap oleh konsumen, sebab harganya terlalu tinggi. Para konsumen akhirnya akan mencari beras di pasar-pasar gelap yang menjual pada harga pasar. Importir-importir akan berlomba-lomba mendatangkan beras dari tempat lain yang bisa memberikan harga pasar. Dalam kenyataan, pembentukan pasar gelap selalu disertai dengan munculnya kolusi, korupsi, dan nepotisme antara pihak-pihak yang terkait. Akibatnya beras-beras di pasar resmi tidak akan laku. Dalam kondisi seperti ini biasanya dengan terpaksa para produsen juga akan menjual berasnya pada harga pasar (dari pada tidak laku).

2. Penetapan Harga di bawah Harga Pasar (ceilling price)
Alasan yang umum dalam mengambil kebijakan ini adalah untuk melindungi konsumen dari harga yang terlalu tinggi. Pengaruh penetapan ini juga tidak jauh berbeda, yaitu menimbulkan banyak distorsi bagi perekonomian. Karena harga terlalu rendah, maka akan terjadi kelebihan permintaan sebab konsumen membeli harga lebih murah dari yang seharusnya. Namun bagi konsumen jelas harga ini tidak menguntungkan shingga kemungkinan akan enggan untuk melepaskan barang-barangnya ke pasar. Para produsen akan cenderung menjual barangnya ke pasar lain (black market) yang bisa memberikan harga yang lebih tinggi.
Adapun intervensi pemerintah dalam hal regulasi harga sebenarnya merupakan hal yang kurang populer dalam khazanah pemikiran ekonomi Islam sebab regulasi harga yang tidak tepat justru akan menimbulkan ketidak adilan dalam penentuan harga. Seperti zaman dahulu, Rasulullah sangat enggan untuk diminta menetapkan harga pasar, seperti kisah ketika Rasulullah SAW. diminta untuk menentukan harga yang tiba-tiba menaik. Pada saat itusahabat berkata, “Wahai Rasulullah tentukan harga untuk kita!” Beliau menjawab, “Allah itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan, pencurah serta pemberi rezeki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku dimana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kedzaliman dalam hal darah dan harta”. Dari hadits di atas jelaslah bahwa pasar merupakan hukum alam (sunnatullah) yang harus dijunjung tinggi, tak seorang pun dapat mempengaruhi harga.
Al-Maslahah al-mursalah adalah salah satu cara dalam menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang ketetapan hukumnya tidak disebutkan dalam nash dengan pertimbangan untuk kemaslahatan umat manusia, (Djaelani, 2007, hal. 270) untuk memelihara tujuan hukum yang terlepas dari dalil-dalil syar’i, baik dalil yang menguatkan (I’tibar) maupun yang meniadakannya.
Ruang lingkup penetapan Maslahah Mursalah terbatas pada bidang muamalah, karena kemaslahatan bidang inilah yang mungkin ditemukan dan diketahui. Sehingga tidak menjangkau bidang ibadah, apabila penetapan hukum bidang ini melalui Maslahah Mursalah akan membawa kepada perubahan syi’ar agama dan beragamnya ibadah. (Abdullah, 2004, hal. 155)

C.    METODE PENULISAN

Dalam penulisan paper ini penyusun menggunakan metode penulisan deskriptif analitik, yaitu dengan mengumpulkan data kemudian dari data tersebut disusun, dianalisis kemudian ditarik kesimpulan. Dan dalam analisis data ini, penyusun menjabarkan tentang masalah yang menjadi bahan penulisan dan aspek-aspek yang berhubungan dengan tema yang diangkat.
Selain itu, penulisan ini bersifat study kepustakaan (library research). Adapun metode study kepustakaan adalah penulisan yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penulisan dari penulis terdahulu. (Hasan, 2002, hal. 11)
Jenis data yang dipakai dalam penulisan ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk sudah jadi, sudah dikumpulkan dan diolah oleh pihak lain, biasanya sudah dalam bentuk publikasi. Data semacam ini sudah dikumpulkan pihak lain untuk tujuan tertentu yang bukan demi keperlian penulisan yang sedang dilakukan penyusun saat ini secara spesifik. (Muhammad, 2008, hal. 102)
Dalam pengumpulan dan pengolahan data, kerangka berfikir yang diambil yaitu dengan mengumpulkan informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan intervensi, harga, pasar, peran pemerintah didalamnya, dan maslahah mursalah. Setelah data-data tersebut terkumpul maka dilakukan analisis permasalahan yang terjadi dan disesuaikan dengan aturan dalam ekonomi Islam untuk mengambil kesimpulan.

D.    PEMBAHASAN

Harga harus mencerminkan manfaat bagi pembeli dan penjualan secara adil, yaitu penjualan memperoleh keuntungan yang normal dan pembeli memperoleh manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkan. (P3EI (UII), 2009, hal. 332) Jadi harga yang adil ini adalah harga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan (kezaliman) sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain.
Penentuan harga dalam ekonomi syariah didasarkan atas mekanisme pasar, yakni harga ditentukan berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran atas azas sukarela (‘an taradhiin), sehingga tidak ada satu pihak pun yang teraniaya atau terzalimi. Dengan syarat kedua belah pihak yang bertransaksi mengetahui mengenai produk dan harga di pasaran. (Amrin, 2007, hal. 75)

Hal tersebut tergambar dalam kurva di bawah ini:
Islam sangat menjunjung tinggi mekanisme pasar yang berdasarkan atas kekuatan permintaan dan penawaran.
1)  Titik keseimbangan pasar akan terjadi ketika permintaan bertemu dengan penawaran secara bebas (‘antaradhin minkum)
2)  Jika proses mencapai titik keseimbangan ini terganggu maka pemerintah harus melakukan intervensi.

Kaitannya dengan mekanisme pasar, Islam memberikan kebebasan dalam penentuan harga. Pasar adalah penentu harga, artinya pihak manapun tidak boleh mengintervensi harga di pasar. Semua itu bergantung pada kekuatan permintaan dan kekuatan pasar. (Sudarsono, 2004, hal. 152) Dalam konsep Islam, pertemuan permintaan dan penawaran tersebut haruslah terjadi secara sukarela.
Dalam konsep Islam, pertemuan permintaan dengan penawaran tersebut haruslah terjadi secara rela sama rela, tidak ada pihak yang merasa terpaksa untuk melakukan transaksi pada tingkat harga tersebut. Jadi titik pertemuan antara permintaan dan penawaran yang membentuk harga keseimbangan hendaknya berada dalam keadaan rela sama rela dan tanpa ada paksaan dari salah satu pihak.
Intervensi harga hanya akan menimbulkan excess demand atau excess supply dan selanjutnya menimbulkan pasar gelap. Pasar gelap inilah yang menjadi potensi timbilnya kolusi dan korupsi. (Hafidhudhin, 2003, hal. 72)

Seperti dalam kurva di bawah ini:
Penjelasan kurva :
1) Ketika pemerintah menetapkan floor price sebesar P*, sementara harga keseimbangan adalah P, maka akan mengakibatkan kelebihan penawaran (excuss supply) sehingga kondisi tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak penjual.
2) Ketika pemerintah menetapkan ceilling price sebesar P*, sementara harga keseimbangan adalah P, maka akan mengakibatkan kelebihan permintaan (excuss demand) dan hal tersebut memberikan kerugian bagi pembeli.

Menurut Ibnu Taimiyah Yang dikutip oleh Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa dalam Islam penetapan harga dibagi menjadi 2 macam, yaitu : penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum dan penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum. Adapun yang dimaksud penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand. Sedangkan penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum adalah penetapan yang tidak menimbulkan kerugian atau penindasan kepada para pelaku pasar. Justru penetapan harga jika memang menimbulkan keadilan akan membawa tingkat harga kepada harga posisi harga yang seharusnya.  (Qardhawi, 1997, hal. 257)
Namun Islam juga tidak menutup kemungkinan adanya kebijakan penetapan harga dengan syarat dalam kondisi-kondisi tertentu saja dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan. Menurut Mannan dalam bukunya The Behavior of Film and Its Objectives in An Islamic Framework, regulasi harga ini harus menunjukkan tiga fingsi dasar, yaitu (P3EI (UII), 2009, hal. 335) :
1. Fungsi ekonomi yang berhubungan dengan peningkatan produktivitas dan peningkatan pendapatan masyarakat miskin melalui alokasi dan realokasi sumber daya ekonomi.
2. Fungsi sosial dalam memelihara keseimbangan sosial antara masyarakat kaya dan miskin.
3. Fungsi moral dalam menegakkan nilai-nilai syariah Islam, khususnya yang berkaitan dalam transaksi ekonomi.
Menurut Qardhawi, jika pedagang menahan suatu barang, sedangkan pembeli membutuhkannya dengan maksud agar pembeli mau membelinya dengan harga di atas harga pasar. Dalam kasus ini, para pedagang secara suka rela harus menerima penetapan harga oleh pemerintah. Dengan demikian, penetapan harga wajib dilakukan agar pedagang menjual harga yang sesuai demi tegaknya keadilan. (Qardhawi, 1997, hal. 258)
Kaitannya dengan penetapan harga, Ibnu Taimiyah juga dalam bukunya Al-Hisbah menjelaskan cara pengendalian harga yang ditentukan oleh penyebabnya. Bila penyebabnya adalah perubahan pada genuine demand dan genuine supply, maka mekanisme pengendalian dilakukan melalui market intervension. Sedangkan bila penyebabnya adalah distorsi terhadap genuine demand dan genuine supply, maka mekanisme pegendaliannya dilakukan melalui penghilangan distorsi termasuk penentuan price intervension untuk mengembalikan harga pada keadaan sebelum distorsi. (Karim A. A., 2003, hal. 238-239)
Seperti pada masa Rasulullah SAW dan Khalifah Umar bin Khattab, kota Madinah pernah mengalami kenaikan harga-harga bahan pokok sehingga masyarakatnya tidak dapat menjangkau herga tersebut. Maka yang dilakukan Rasulullah SAW dan Umar tidak langsung mengintervensi harga namun dengan melakukan market intervension dengan cara :

Mengintervensi sisi penawaran dengan cara mengimpor gandum dari mesir sehingga pasokan gandum kembali seperti semula. 
Hal tersebut tergambar dalam kurva di bawah ini :
Penjelasan :
1) Akibat kekeringan kurva penawaran gandum di Madinah bergeser dari S* S* ke S S, sehingga harga naik dari P1 ke P2
2) Kemudian Rasulullah SAW mengimpor gandum dari Mesir untuk menambah kembali pasokan gandum di pasar sehingga kembali kurva penawaran bergeser kanbali dari S S menuju S* S*.

Namun pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, hal tersebut tidak meyebabkan daya beli masyarakat masih tetap rendah, maka Umar bin Khattab pun mengintervensi permintaannya dengan membagikan kupon kepada fakir miskin, agar fakir dan miskin dapat mencukupi kebutuhannya, dengan bantuan kupon tersebut.
Penjelasan :
Harga keseimbangan setelah diintervensi dari sisi permintaannya menjadi Q**. Dan barang yang dimintapun bergeser ke Q3.

Hal yang dilakukan Umar bin Khattab tersebut jelas tidak melakukan intervensi harga secara langsung, namun dengan mengintervensi pasar, adapun harga dikembalikan kepada pasar.
Menurut Ibnu Taimiyah beberapa kondisi yang diperbolehkan untuk melakukan intervensi,  (Anto, 2003, hal. 301-302) yaitu :
1. Pada saat masyarakat betul-betul membutuhkan barang-barang, seperti saat terjadi bencana kelaparan atau peperangan. Menurut Ibn Taimiyah, “Inilah saatnya pemegang otoritas (pemerintah) untuk memaksa seseorang menjual barang-barangnya pada harga yang jujur, jika penduduk sangat membutuhkannya. Misalnya ketika ia memiliki kelebihan bahan pangan dan penduduk menderita kelaparan, pedagang itu akan dipaksa menjualnya pada tingkat harga yang adil.
2. Para penjual tidak mau menjual barangnya kecuali pada harga yang lebih tinggidari pada harga normal (al-qimah al-ma’rufah), padahal konsumen sangat membutuhkanya. Kondisi seperti ini biasanya disebabkan karena terjadinya penimbunan (ikhtikar) atau monopoli. Menurutnya, para pemegang monopoli tak boleh dibiarkan melaksanakan kekuasaannya sehingga melawan ketidak adilan terhadap penduduk.
3. Terjadi diskriminasi harga untuk melawan pembeli atau penjual yang tidak mengetahui harga pasar yang sebenarnya. Ia mengatakan, “Seorang penjualtidak boleh menetapkan harga di atas biasanya, harga yang tidak umum di masyarakat, dari individu yang tidak sadar (mustarsil), tetapi harus menjualnya pada tingkat umum (al-qimah al-mu’tadah) atau mendekatinya. Jika seorang pembeli harus membeli pada harga yang berlebihan, ia memiliki hak untuk memperbaiki transaksi bisnisnya, seseorang tahu, diskriminasi dengan cara itu bisa dihukum dan dikucilkan dari haknya memasuki pasar tersebut.
4. Para penjual menawarkan harga yang terlalu tinggi, sementara para pembeli menginginkan terlalu rendah. Jika hal ini dibiarkan akan menimbulkan kemandegan dalam pasar. Ibnu Taimiyah juga menganalisis dampak terjadinya monopsoni. Ia menggambarkan situasi minopsoni ini ketika para pembeli membentuk kekuatan untuk menghasilkan harga barang dagangan pada tingkat yang sedemikian rendah. Dalam situasi monopsoni yang seperti ini jelas pembeli memiliki potensi untuk mendzolimi penjual.
5. Para penjual melakukan kolusi, baik dengan sesama penjual ataupun dengan kelompok atau seorang pembeli tertentu dengan tujuan untuk mempermainkan pasar.
6. Pemilik jasa, misalnya tenaga kerja, menolak bekerja kecuali pada upah yang lebih tinggi dibandingkan tigkat upah yang berlaku di pasar, padahal masyarakat sangat membutuhkan jasa tersebut. Ia mengatakan, “Jika penduduk membutuhkan pekerja tangan yang ahli dan pengukir, dan mereka menolak tawaran mereka, atau melakukan sesuatu yang menyebabkan ketidak sempurnaan pasar, maka pemerintah harus mengeluarkan kebijakan penetapan harga. Dan tujuan dari penetapan harga ini adalah untuk melindungi pemberi kerja (employer) dan penerima kerja (employee) dari saling mengekploitasi sau sama lain”.
Terkait dengan hal tersebut Islam memandang, bahwa tanggung jawab pemerintah bukan terbatas pada keamanan dalam negeri dan sistem keamanan yang mempunyai kekuatan antisifatif serangan dari luar saja. Tapi pertanggung jawaban pemerintah ini harus merupakan bagian dari program pencapaian masyarakat ideal yaitu adil dan makmur. Keadailan dalam masyarakat tidak mungkin tercipta, tanpa keterlibatan pemerintah dalam membela yang lemah dan memberikan pertolongan pada mereka, juga dalam masalah yang menyangkut perekonomian. (an-Nabahan, 2002, hal. 38)
Pemerintah harus bertanggung jawab dalam kesejahteraan masyarakat dan menghilangkan segala bentuk perbuatan yang dapat mengancam kesejahteraan tersebut. Intervensi pemerintah jangan sampai meninggalkan nilai keadilan yang menjadi hak setiap rakyat untuk mendapatkannya. Keadilan disini, juga mencakup hak individu objek intervensi. Maka intervensi harus secukupnya, dan tidak boleh berlebihan. Dan jika masalah telah selesai, maka intervensi kembali ke hukum semula yaitu hram dilakukan.  (an-Nabahan, 2002, hal. 124-125)
Untuk menjaga keberlangsungan pasar secara normal dan tetap dapat mewujudkan kemaslahatan hidup masyarakat, diperlukan suatu lembaga yang mengawasi kegiatan secara optimal. Lembaga tersebut berkawajiban mengamati mekanisme pasar dan menjaganya dari prakter penimbunan (ihtikar), penipuan, praktek ribawi, serta tindakan yang dapat menyebabkan terjadinya distorsi pasar. (Marthon, 2007, hal. 100) Selain itu, lembaga tersebut mempunyai wewenang untuk memberikan sanksi kepada para pelaku pasar yang melakukan penyimpangan atas kaidah dan aturan yang telah ditetapkan.
Praktek pengawasan pasar telah dilaksanakan oleh Rasulullah dengan terjun langsung ke dalam pasar. Dalam operasionalnya, beliau mengelilingi pasar dengan melakukan pembenahan terhadap berbagai tindak penyimpangan yang terjadi di dalamnya. Dalam sebuah riwayat dijelaskan, bahwa pelarangan Rasulullah terhadap tindak kecurangan dan manipulasi dalam pasar dilanjutkan oleh Khulafa ar-Rasyidin dengan mendirikan suatu lembaga, yaitu al-Hisbah. (Marthon, 2007, hal. 100)
Masalah pembentukan negara atau pemerintah, juga berkaitan dengan iqamah ad-din untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena Allah telah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar. Sementara upaya untuk menegakkan kewajiban itu tidak mungkin terealisasi dengan baik tanpa adanya pemerintah. (Taimiyah, 1994, hal. 156-157)
Dasar legal dari intervensi pemerintah yaitu:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”(QS. Ali-Imran:104)
Dari dalil diatas kita dapat mengetahui bahwa pemerintah, menurut ajaran Islam berkewajiban mengajak rakyat untuk berbuat kebaikan, memerintah yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Dan setiap tindakan atau kebijakan para pemimpin yang menyangkut dan mengenai hak-hak rakyat, harus dikaitkan dengan kemaslahatan rakyat dan ditujukan untuk mendatangkan suatu kebaikan. (Quthb, 2001, hal. 132)
Intervensi versi Islam jauh berbeda dengan intervensi model sosialis. Sosialis mendukung pemerintah pada posisi yang sangat dominan, sehingga keterlibatan individu praktis ditiadakan. Dalam Islam, individulah sebagai actor utama dan pemerintah hanya bertindak sebagai stabilisator yang melindungihak-hak individu, terutama hak-hak mendapat keamanan, kesejahteraan, dan jaminan sosial. (an-Nabahan, 2002, hal. 81)
Islam memperkenankan intervensi, hanya dalam kasus tertentu. Jika Islam memperbolehkan intervensi, hanya terbatas pada hal-hal yang mendesak demi terlindunginya kepentingan umum, dengan syarat intervensi pemerintah benar-benar refresentatif dari nilai syari’ah. Dimana kebolehan intervensi hanya untuk menghilangkan kemadharatan yang sedang menimpa. Maka apabila kemadharatan atau suatu keadaan yang memaksa telah hilang, maka kebolehan terhadap yang didasarkan atas kemadharatan itu menjadi hilang pula, artinya perbuatan kembali ke asal mulanya, yakni dilarang. (Rahman, 1976, hal. 87)
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS. An-Nahl:90)
Ibnu taimiyah berpendapat, “Apabila harga yang terbentuk tidak merefleksikan kerelaan masing-masing pihak dan tidak terdapat persentase keuntungan tertentu, maka hal tersebut akan menyebabkan rusaknya sebuah harga dan dapat merugikan kekayaan manusia.” (Marthon, 2007, hal. 99)
Seperti yang telah diketahui, bahwa tujuan intervensi harga oleh pemerintah adalah dalam rangka mewujudkan maslahat bagi kehidupan masyarakat. Dan ketika pemerintah memandang hal tersebut sebagai suatu kemaslahatan, maka saat itu pula intervensi dapat dijalankan. Ada beberapa kondisi yang memperbolehkan adanya penetapan harga, (Marthon, 2007, hal. 98) seperti dalam waktu perang, musim peceklik, dan lain sebagainya.


E.     PENUTUPAN

Pembentukan harga suatu barang terjadi dengan adanya interaksi antara dua kekuatan pokok yaitu penawaran oleh penjual atau produsen dan permintaan oleh pembeli atau konsumen dari suatu produk baik itu barang maupun jasa. Dalam interaksi akan terjadi tawar menawar sehingga tercapai suatu titik Equilibrium (titik keseimbangan) berupa harga yang disepakati oleh para pihak yang bertransaksi. Hasil yang disepakati bersifat mengikat antara keduanya, artinya seorang produsen akan menyerahkan barang yang diminta sebagai kompensasi atas harga yang dibayar atau sebaliknya konsumen harus membayar harga yang disepakati sebagai kompensasi atas barang yang ia beli. (Sudarsono, 2004, hal. 220)
Seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksnya permasalahan ekonomi saat ini, maka intervensi sekarang ini sangat dibutuhkan, dalam upaya menjaga stabilitas ekonomi. Tujuan utama intervensi ini adalah dalam upaya menjaga kesejahteraan bersama. Pemerintah mempunyai peran penting dalam mewujudkan kesejahteraan semua orang dengan menjamin keseimbangan antara kepentingan privat dan sosial, memelihara roda perekonomian pada rel yang benar dan mencegah pengalihan arahnya oleh kelompok orang yang berkuasa yang berkepentingan. (Chapra, 2000, hal. 227) Islam memandag bahwa terdapat satu kesatuan dan keseimbangan antara aspek-aspek dalam setiap usaha manusia.
Sebaiknya pemerintah selalu berkiblat kepada ekonomi yang berbasis ialam, karena ekonomi Islam sangat menjunjung tinggi prinsip keadilan agar tercipta ekonomi Indonesia yang berkeadilan yang memberikan kenyamanan bagi para pemangkunya dan masyarakat.
Berdasarkan penjelasan diatas, ada beberapa poin yang harus dipahami, yaitu pada dasarnya, penentuan harga sebuah komoditas berdasarkan atas asas kebebasan. Harga yang terbentuk merupakan hasil pertemuan antara permintaan dan penawaran dengan asumsi pasar berjalan secara normal. Dalam kondisi tertentu, pemerintah boleh melakukan intervensi harga. Intervensi hanya boleh dilakukan dalam kondisi tertentu (dharurah), seperti terjadinya penimbunan, adanya kolusi di antara penjual ataupun pembeli, dan distorsi pasar.
Intervensi yang dilakukan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat, dan harga yang ditetapkan harus berdasarkan prinsip keadilan bagi semua pihak dan tidak diperbolehkan adanya pihak pihak yang dirugikan.
Mewujudkan sebuah harga yang adil harus memperhatikan barbagai macam aspek dan elemen para pelaku pasar, baik biaya produksi, kebutuhan masyarakat, maupun sumber ekonomi dan berbagai unsur yang dapat menciptakan keadilan suatu harga. Intervensi pemerintah dalam penetapan harga merupakan kekhawatiran dari timbulnya kerugian bagi salah satu pihak pelaku pasar. Dalam kondisi tersebut, intervensi harga yang dilakukan hanyalah untuk menghindari kerugian yang lebih besar semata.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S. (2004). Sumber Hukum Islam (Permasalahan dan Fleksibilitasnya). Jakarta: Sinar Grafika.
Algifari. (2002). Ekonomi Mikro Teori dan Kasus. Yogyakarta: STIE YKPN.
Amrin, A. (2007). Strategi Pemasaran Asuransi Syariah. Jakarta: Grasindo.
an-Nabahan, M. F. (2002). Sistem Ekonomi Islam. (M. Zainuddin, Penerj.) Yogyakarta: UII Pres.
Anto, M. H. (2003). Pengantar Ekonomi Mikro Islam. Yogyakarta: Ekonosia.
Buchari, A. (2002). Manajemen Pemasaran. Bandung: CV Alfabeta.
Chapra, U. (2000). Islam dan Tantangan Ekonomi. Jakarta: Gema Insani.
Djaelani, B. M. (2007). Ensiklopedi Islam. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Hafidhudhin, D. (2003). Islam Aplikatif. Jakarta: Gema Insani Press.
Hasan, M. I. (2002). Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Iqbal, M. (2007). Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar dan Dirham. Depok: Spirit Learning Centre.
Irawan, B. S. (2005). Manajemen Pemasaran Modern (Edisi Kedua ed.). Yogyakarta: Liberty.
Islahi, A. (1997). Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah (Edisi Terjemahan ed.). Surabaya: Bina Ilmu.
Karim, A. A. (2001). Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema Insani.
Karim, A. A. (2003). Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: IIIT Indonesia.
Karim, A. A. (2010). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Marthon, S. S. (2007). Ekonomi Islam : Di Tengah Krisis Ekonomi Global. (L. Y. Sanusy, Penyunt., & D. Ahmad Ikhrom, Penerj.) Jakarta: Zikrul Hakim.
Muhammad. (2008). Metode Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kuantitatif. Jakarta: Rajawali Pers.
P3EI (UII). (2009). Ekonomi Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII. (2009). Ekonomi Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Qardhawi, Y. (1997). Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani.
Quthb, S. (2001). Tafsir fi Zhilalil Qur'an. Jakarta: Gema Insani.
Rahman, A. A. (1976). Qawa'idul Fiqhiyyah. Jakarta: Bulan Bintang.
Saladin, D. (2005). Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengendalian. Bandung: Linda Karya.
Sudarsono, H. (2004). Konsep Ekonomi Islam (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Ekonosia.
Sunaryo. (2001). Ekonomi Manajerial : Aplikasi Teori Ekonomi Mikro. Jakarta: Erlangga.
Taimiyah, I. (1994). Etika Politik Islam. (R. Munawar, Penerj.) Surabaya: Risalah Gusti.