Minggu, 01 Februari 2015

PAPER INTERVENSI HARGA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM


A. PENDAHULUAN

Ajaran Islam merupakan ajaran yang menyeluruh meliputi segala aspek kehidupan, yang diturunkan khusus untuk umat di akhir zaman dengan segala permasalahan dan solusinya. (Iqbal, 2007, hal. 148) Tidak hanya sekedar membahas ritual peribadatan di masjid-masjid yang notabennya membahas hubungan manusia dengan Penciptanya (hablu minallah), namun juga membahas hubungan manusia dengan manusia (hablu minannas), termasuk di dalamnya kegiatan ekonomi.
Ekonomi dalam Islam atau yang sering disebut dengan iqtishad mengacu pada ajaran Islam, karenanya ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan (integral) dari agama Islam. Islam memandang aktifitas ekonomi secara positif. Semakin banyak manusia terlibat dalam aktivitas ekonomi maka semakin baik, sepanjang tujuan dari prosesnya sesuai dengan ajaran Islam. Ketaqwaan kepada Tuhan tidak berimplikasi pada penurunan produktivitas ekonomi, sebaliknya justru membawa seseorang untuk lebih produktif. Kekayaan dapat mendekatkan kepada Tuhan selama diperoleh dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. (P3EI (UII), 2009, hal. 13-14)
Islam memposisikan kegiatan ekonomi sebagai salah satu aspek penting untuk mendatangkan kemuliaan (falah) dan karenanya kegiatan ekonomi sebagai mana kegiatan ibadah lainnya perlu dituntun dan di kontrol agar berjalan seirama dengan ajaran Islam secara keseluruhan. (P3EI (UII), 2009, hal. 16) Dalam kaitan tersebut, Islam juga sangat menghormati kegiatan ekonomi, yang termasuk di dalamnya mekanisme pasar. Sampai-sampai Rasulullah melarang adanya inervensi terhadap pasar dan harga, karena intervensi tersebut hanya akan menimbulkan ketidak seimbangan pada pasar yang nantinya dikhawatirkan akan menyebabkan kerugian bagi penjual dan pembeli.
Kaitanya dengan intervensi harga dan pasar, memeng seharusnya pemerintah khususnya Indonesia tidak melakukan intervensi harga dan membiarkan titik keseimbangan harga pasar menentukan harga itu sendiri sesuai dengan harga yang adil yaitu ketika permintaan bertemu dengan penawaran secara bebas (‘antaradhin minkum).
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diambil pokok masalah yang kiranya layak untuk dikaji lebih mendalam, yaitu mengenai bagaimana intervensi harga dalam perspektif ekonomi Islam. Adapun tujuan dari penulisan paper ini yaitu untuk menjelaskan intervensi harga dalam perspektif Islam. Dan manfaat dari penulusan ini harapannya yang pertama untuk memperluas, meningkatkan, serta mengembangkan wawasan penulis, dan kedua sebagai nilai UAS Mata Kuliah Ekonomi Mikro Islam Semester 3/2014.

B. STUDY LITERATUR

Pasar merupakan bagian penting dalam kehidupan seorang muslim. Pasar dapat dijadikan sebagai katalisator hubungan transendental antara muslim dengan Tuhannya. (Marthon, 2007, hal. 87) Dengan kata lain, bertransaksi dalam pasar merupakan ibadah seorang muslim dalam kehidupan ekonomi. Hal tersebut pernah dilakukan oleh Rasulullah ketika hijrah ke Madinah dimana beliau banyak pergi ke pasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Definisi mengenai pasar sangat beragam, dalam buku Microeconomic Theory mendefinisikan pasar sebagai berikut: “Market is a place where buyers and sellers come together to buy and to sell their resources and goods and services”. (Algifari, 2002, hal. 8)  Pengertian tempat (place) dalam definisi ini tidak mesti tempat secara fisik, dapat saja berarti pertemuan antara penjual dan pembeli dalam bernegosiasi untuk memperoleh kesepakatan jual beli yang tidak harus bertatap muka satu sama lain. Dalam definisi lain DR. Said Sa’ad Marthon menyatakan bahwa pasar adalah sebuah mekanisme yang dapat mempertemukan pihak penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi atas barang dan jasa; baik dalam bentuk produksi maupun penentuan harga. (Marthon, 2007, hal. 85)
Mekanisme pasar adalah kebebasan sepenuhnya oleh pasar tanpa intervensi pihak manapun, yaitu terjadinya interaksi antara permintaan dan penawaran yang akan menentukan tingkat harga tertentu, yang menimbulkan terjadinya sebuah transfer barang dan jasa dari produsen kepada konsumen. (Karim A. A., 2003, hal. 13)
Aspek-aspek mekanisme pasar meliputi komoditi, pelaku pasar, dan harga. Dalam ilmu ekonomi, pelaku pasar dikategorikan menjadi tiga yaitu konsumen yang membentuk permintaan pasar, produsen yang membentuk penawaran harga, dan pemerintah yang meregulasi harga. (Sunaryo, 2001, hal. 47)
Sedangkan harga itu sendiri menurut Buchari adalah nilai suatu barang yang dinyatakan dengan uang. (Buchari, 2002) Harga juga diartikan sebagai jumlah uang sebagai alat tukar untuk memperoleh produk atau jasa. (Saladin, 2005, hal. 95) Selain itu, pengertian lain mengenai harga adalah jumlah uang yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari produk dan pelayanannya.
Adapun harga menurut ahli ekonomi Islam adalah sesuatu yang direlakan dalam akad, baik lebih sedikit, lebih besar, atau sama dengan nilai barang. Biasanya, harga dijadikan penukaran barang yang diridhai oleh kedua belah pihak. (Irawan, 2005, hal. 241)
Para ulama Islam sering mengaitkan konsep harga tersebut dengan konsep harga adil. Harga yang adil menurut Islam adalah harga yang dibayar untuk objek yang sama yang diberikan pada waktu dan tempat yang diserahkan. (Islahi, 1997, hal. 25) Mereka juga sering mengistilahkan dengan thaman al-mithl (harga yang setara/equivalen price). Sarjana muslim ternama Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Hisbah menyatakan bahwa kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan itulah esensi keadilan (nafs al-adl). (Karim, 2010, hal. 25)
Dari definisi tersebut jelaslah bahwa yang menentukan harga adalah permintaan produk/jasa oleh para pembeli dan pemasaran produk/jasa dari para pedagang. Oleh karena jumlah pembeli ada banyak, maka permintaan tersebut dinamakan permintaan pasar. Adapun penawaran pasar terdiri dari pasar monopoli, duopoli, oligopoli, dan persaingan sempurna. Jadi harga-harga yang ditentuka oleh permintaan dan penawaran pasar yang membentuk suatu titik keseimbangan yang merupakan kesepakatan antara para pembeli dan para penjual yang mana para pembeli dan penjual sama-sama memberikan ridha.
Adam Smith mengemukakan bahwa pasar akan diatur oleh tangan-tangan yang tidak terliahat (invisible hands). Hal ini terkait dengan kritikan Adam Smith terhadap konsep kaum Markentilis akan perlunya intervensi negara untuk  mengatur pasar. Berdasarkan penjelasan itu (bahwa Adam Smith banyak merujuk pada perekonomian Islam) bukan tidak mungkin konsep Invisible Hands ini diilhami oleh hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa Allah lah yang menentukan harga (Karim A. A., Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, 2001, hal. 92). Konsep Invisible Hands ini lebih tepat dikatakan sebagai God’s Hands.
Perbedaan, Adam Smith menolak intervensi pasar (market intervention) secara menyeluruh, sedangkan reaksi ekonomi islam ditentukan oleh penyebab naiknya harga. Bila penyebabnya adalah perubahan supply dan demand, tindakan yang diambil adalah market intervention; namun bila penyebabnya bukan pada perubahan supply dan demand, tindakan yang tepat adalah price intervention dengan tujuan untuk mengembalikan harga keseimbangan (Karim A. A., Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, 2001, hal. 93).
Dalam perspektif Ekonomi Konvensional, dikenal 2 penetapan harga yang lazim diterapkan, antara lain (P3EI (UII), 2009, hal. 337-338) :

1. Penetapan Harga di atas Harga Pasar (floor price)
Kebijakan ini menetapkan harga pada suatu tingkat di atas harga pasar. Hal ini biasanya digunakan untuk melindungi produsen dari harga yang terlalu rendah sehingga tidak memperoleh margin keuntungan yang memadai (bahkan merugi). Harga yang terjadi di atas kekuatan pasar dianggap tidak menguntungkan produsen sehingga harus dinaikkan oleh pemerintah. Contoh : kebijakan harga dasar gabah yang telah lama dilakukan pemerintah untuk stabilitas harga beras. Pada saat panen raya padi, maka penawaran beras di pasar mengalami kenaikan shingga secara alamiah harga akan turun.
Penetapan harga dasar ini akan menimbulkan banyak distorsi bagi perekonomian. Penetapan harga di atas harga pasar akan menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran. Kelebihan ini kemungkinan besar tidak akan diserap oleh konsumen, sebab harganya terlalu tinggi. Para konsumen akhirnya akan mencari beras di pasar-pasar gelap yang menjual pada harga pasar. Importir-importir akan berlomba-lomba mendatangkan beras dari tempat lain yang bisa memberikan harga pasar. Dalam kenyataan, pembentukan pasar gelap selalu disertai dengan munculnya kolusi, korupsi, dan nepotisme antara pihak-pihak yang terkait. Akibatnya beras-beras di pasar resmi tidak akan laku. Dalam kondisi seperti ini biasanya dengan terpaksa para produsen juga akan menjual berasnya pada harga pasar (dari pada tidak laku).

2. Penetapan Harga di bawah Harga Pasar (ceilling price)
Alasan yang umum dalam mengambil kebijakan ini adalah untuk melindungi konsumen dari harga yang terlalu tinggi. Pengaruh penetapan ini juga tidak jauh berbeda, yaitu menimbulkan banyak distorsi bagi perekonomian. Karena harga terlalu rendah, maka akan terjadi kelebihan permintaan sebab konsumen membeli harga lebih murah dari yang seharusnya. Namun bagi konsumen jelas harga ini tidak menguntungkan shingga kemungkinan akan enggan untuk melepaskan barang-barangnya ke pasar. Para produsen akan cenderung menjual barangnya ke pasar lain (black market) yang bisa memberikan harga yang lebih tinggi.
Adapun intervensi pemerintah dalam hal regulasi harga sebenarnya merupakan hal yang kurang populer dalam khazanah pemikiran ekonomi Islam sebab regulasi harga yang tidak tepat justru akan menimbulkan ketidak adilan dalam penentuan harga. Seperti zaman dahulu, Rasulullah sangat enggan untuk diminta menetapkan harga pasar, seperti kisah ketika Rasulullah SAW. diminta untuk menentukan harga yang tiba-tiba menaik. Pada saat itusahabat berkata, “Wahai Rasulullah tentukan harga untuk kita!” Beliau menjawab, “Allah itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan, pencurah serta pemberi rezeki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku dimana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kedzaliman dalam hal darah dan harta”. Dari hadits di atas jelaslah bahwa pasar merupakan hukum alam (sunnatullah) yang harus dijunjung tinggi, tak seorang pun dapat mempengaruhi harga.
Al-Maslahah al-mursalah adalah salah satu cara dalam menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang ketetapan hukumnya tidak disebutkan dalam nash dengan pertimbangan untuk kemaslahatan umat manusia, (Djaelani, 2007, hal. 270) untuk memelihara tujuan hukum yang terlepas dari dalil-dalil syar’i, baik dalil yang menguatkan (I’tibar) maupun yang meniadakannya.
Ruang lingkup penetapan Maslahah Mursalah terbatas pada bidang muamalah, karena kemaslahatan bidang inilah yang mungkin ditemukan dan diketahui. Sehingga tidak menjangkau bidang ibadah, apabila penetapan hukum bidang ini melalui Maslahah Mursalah akan membawa kepada perubahan syi’ar agama dan beragamnya ibadah. (Abdullah, 2004, hal. 155)

C.    METODE PENULISAN

Dalam penulisan paper ini penyusun menggunakan metode penulisan deskriptif analitik, yaitu dengan mengumpulkan data kemudian dari data tersebut disusun, dianalisis kemudian ditarik kesimpulan. Dan dalam analisis data ini, penyusun menjabarkan tentang masalah yang menjadi bahan penulisan dan aspek-aspek yang berhubungan dengan tema yang diangkat.
Selain itu, penulisan ini bersifat study kepustakaan (library research). Adapun metode study kepustakaan adalah penulisan yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penulisan dari penulis terdahulu. (Hasan, 2002, hal. 11)
Jenis data yang dipakai dalam penulisan ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk sudah jadi, sudah dikumpulkan dan diolah oleh pihak lain, biasanya sudah dalam bentuk publikasi. Data semacam ini sudah dikumpulkan pihak lain untuk tujuan tertentu yang bukan demi keperlian penulisan yang sedang dilakukan penyusun saat ini secara spesifik. (Muhammad, 2008, hal. 102)
Dalam pengumpulan dan pengolahan data, kerangka berfikir yang diambil yaitu dengan mengumpulkan informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan intervensi, harga, pasar, peran pemerintah didalamnya, dan maslahah mursalah. Setelah data-data tersebut terkumpul maka dilakukan analisis permasalahan yang terjadi dan disesuaikan dengan aturan dalam ekonomi Islam untuk mengambil kesimpulan.

D.    PEMBAHASAN

Harga harus mencerminkan manfaat bagi pembeli dan penjualan secara adil, yaitu penjualan memperoleh keuntungan yang normal dan pembeli memperoleh manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkan. (P3EI (UII), 2009, hal. 332) Jadi harga yang adil ini adalah harga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan (kezaliman) sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain.
Penentuan harga dalam ekonomi syariah didasarkan atas mekanisme pasar, yakni harga ditentukan berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran atas azas sukarela (‘an taradhiin), sehingga tidak ada satu pihak pun yang teraniaya atau terzalimi. Dengan syarat kedua belah pihak yang bertransaksi mengetahui mengenai produk dan harga di pasaran. (Amrin, 2007, hal. 75)

Hal tersebut tergambar dalam kurva di bawah ini:
Islam sangat menjunjung tinggi mekanisme pasar yang berdasarkan atas kekuatan permintaan dan penawaran.
1)  Titik keseimbangan pasar akan terjadi ketika permintaan bertemu dengan penawaran secara bebas (‘antaradhin minkum)
2)  Jika proses mencapai titik keseimbangan ini terganggu maka pemerintah harus melakukan intervensi.

Kaitannya dengan mekanisme pasar, Islam memberikan kebebasan dalam penentuan harga. Pasar adalah penentu harga, artinya pihak manapun tidak boleh mengintervensi harga di pasar. Semua itu bergantung pada kekuatan permintaan dan kekuatan pasar. (Sudarsono, 2004, hal. 152) Dalam konsep Islam, pertemuan permintaan dan penawaran tersebut haruslah terjadi secara sukarela.
Dalam konsep Islam, pertemuan permintaan dengan penawaran tersebut haruslah terjadi secara rela sama rela, tidak ada pihak yang merasa terpaksa untuk melakukan transaksi pada tingkat harga tersebut. Jadi titik pertemuan antara permintaan dan penawaran yang membentuk harga keseimbangan hendaknya berada dalam keadaan rela sama rela dan tanpa ada paksaan dari salah satu pihak.
Intervensi harga hanya akan menimbulkan excess demand atau excess supply dan selanjutnya menimbulkan pasar gelap. Pasar gelap inilah yang menjadi potensi timbilnya kolusi dan korupsi. (Hafidhudhin, 2003, hal. 72)

Seperti dalam kurva di bawah ini:
Penjelasan kurva :
1) Ketika pemerintah menetapkan floor price sebesar P*, sementara harga keseimbangan adalah P, maka akan mengakibatkan kelebihan penawaran (excuss supply) sehingga kondisi tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak penjual.
2) Ketika pemerintah menetapkan ceilling price sebesar P*, sementara harga keseimbangan adalah P, maka akan mengakibatkan kelebihan permintaan (excuss demand) dan hal tersebut memberikan kerugian bagi pembeli.

Menurut Ibnu Taimiyah Yang dikutip oleh Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa dalam Islam penetapan harga dibagi menjadi 2 macam, yaitu : penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum dan penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum. Adapun yang dimaksud penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand. Sedangkan penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum adalah penetapan yang tidak menimbulkan kerugian atau penindasan kepada para pelaku pasar. Justru penetapan harga jika memang menimbulkan keadilan akan membawa tingkat harga kepada harga posisi harga yang seharusnya.  (Qardhawi, 1997, hal. 257)
Namun Islam juga tidak menutup kemungkinan adanya kebijakan penetapan harga dengan syarat dalam kondisi-kondisi tertentu saja dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan. Menurut Mannan dalam bukunya The Behavior of Film and Its Objectives in An Islamic Framework, regulasi harga ini harus menunjukkan tiga fingsi dasar, yaitu (P3EI (UII), 2009, hal. 335) :
1. Fungsi ekonomi yang berhubungan dengan peningkatan produktivitas dan peningkatan pendapatan masyarakat miskin melalui alokasi dan realokasi sumber daya ekonomi.
2. Fungsi sosial dalam memelihara keseimbangan sosial antara masyarakat kaya dan miskin.
3. Fungsi moral dalam menegakkan nilai-nilai syariah Islam, khususnya yang berkaitan dalam transaksi ekonomi.
Menurut Qardhawi, jika pedagang menahan suatu barang, sedangkan pembeli membutuhkannya dengan maksud agar pembeli mau membelinya dengan harga di atas harga pasar. Dalam kasus ini, para pedagang secara suka rela harus menerima penetapan harga oleh pemerintah. Dengan demikian, penetapan harga wajib dilakukan agar pedagang menjual harga yang sesuai demi tegaknya keadilan. (Qardhawi, 1997, hal. 258)
Kaitannya dengan penetapan harga, Ibnu Taimiyah juga dalam bukunya Al-Hisbah menjelaskan cara pengendalian harga yang ditentukan oleh penyebabnya. Bila penyebabnya adalah perubahan pada genuine demand dan genuine supply, maka mekanisme pengendalian dilakukan melalui market intervension. Sedangkan bila penyebabnya adalah distorsi terhadap genuine demand dan genuine supply, maka mekanisme pegendaliannya dilakukan melalui penghilangan distorsi termasuk penentuan price intervension untuk mengembalikan harga pada keadaan sebelum distorsi. (Karim A. A., 2003, hal. 238-239)
Seperti pada masa Rasulullah SAW dan Khalifah Umar bin Khattab, kota Madinah pernah mengalami kenaikan harga-harga bahan pokok sehingga masyarakatnya tidak dapat menjangkau herga tersebut. Maka yang dilakukan Rasulullah SAW dan Umar tidak langsung mengintervensi harga namun dengan melakukan market intervension dengan cara :

Mengintervensi sisi penawaran dengan cara mengimpor gandum dari mesir sehingga pasokan gandum kembali seperti semula. 
Hal tersebut tergambar dalam kurva di bawah ini :
Penjelasan :
1) Akibat kekeringan kurva penawaran gandum di Madinah bergeser dari S* S* ke S S, sehingga harga naik dari P1 ke P2
2) Kemudian Rasulullah SAW mengimpor gandum dari Mesir untuk menambah kembali pasokan gandum di pasar sehingga kembali kurva penawaran bergeser kanbali dari S S menuju S* S*.

Namun pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, hal tersebut tidak meyebabkan daya beli masyarakat masih tetap rendah, maka Umar bin Khattab pun mengintervensi permintaannya dengan membagikan kupon kepada fakir miskin, agar fakir dan miskin dapat mencukupi kebutuhannya, dengan bantuan kupon tersebut.
Penjelasan :
Harga keseimbangan setelah diintervensi dari sisi permintaannya menjadi Q**. Dan barang yang dimintapun bergeser ke Q3.

Hal yang dilakukan Umar bin Khattab tersebut jelas tidak melakukan intervensi harga secara langsung, namun dengan mengintervensi pasar, adapun harga dikembalikan kepada pasar.
Menurut Ibnu Taimiyah beberapa kondisi yang diperbolehkan untuk melakukan intervensi,  (Anto, 2003, hal. 301-302) yaitu :
1. Pada saat masyarakat betul-betul membutuhkan barang-barang, seperti saat terjadi bencana kelaparan atau peperangan. Menurut Ibn Taimiyah, “Inilah saatnya pemegang otoritas (pemerintah) untuk memaksa seseorang menjual barang-barangnya pada harga yang jujur, jika penduduk sangat membutuhkannya. Misalnya ketika ia memiliki kelebihan bahan pangan dan penduduk menderita kelaparan, pedagang itu akan dipaksa menjualnya pada tingkat harga yang adil.
2. Para penjual tidak mau menjual barangnya kecuali pada harga yang lebih tinggidari pada harga normal (al-qimah al-ma’rufah), padahal konsumen sangat membutuhkanya. Kondisi seperti ini biasanya disebabkan karena terjadinya penimbunan (ikhtikar) atau monopoli. Menurutnya, para pemegang monopoli tak boleh dibiarkan melaksanakan kekuasaannya sehingga melawan ketidak adilan terhadap penduduk.
3. Terjadi diskriminasi harga untuk melawan pembeli atau penjual yang tidak mengetahui harga pasar yang sebenarnya. Ia mengatakan, “Seorang penjualtidak boleh menetapkan harga di atas biasanya, harga yang tidak umum di masyarakat, dari individu yang tidak sadar (mustarsil), tetapi harus menjualnya pada tingkat umum (al-qimah al-mu’tadah) atau mendekatinya. Jika seorang pembeli harus membeli pada harga yang berlebihan, ia memiliki hak untuk memperbaiki transaksi bisnisnya, seseorang tahu, diskriminasi dengan cara itu bisa dihukum dan dikucilkan dari haknya memasuki pasar tersebut.
4. Para penjual menawarkan harga yang terlalu tinggi, sementara para pembeli menginginkan terlalu rendah. Jika hal ini dibiarkan akan menimbulkan kemandegan dalam pasar. Ibnu Taimiyah juga menganalisis dampak terjadinya monopsoni. Ia menggambarkan situasi minopsoni ini ketika para pembeli membentuk kekuatan untuk menghasilkan harga barang dagangan pada tingkat yang sedemikian rendah. Dalam situasi monopsoni yang seperti ini jelas pembeli memiliki potensi untuk mendzolimi penjual.
5. Para penjual melakukan kolusi, baik dengan sesama penjual ataupun dengan kelompok atau seorang pembeli tertentu dengan tujuan untuk mempermainkan pasar.
6. Pemilik jasa, misalnya tenaga kerja, menolak bekerja kecuali pada upah yang lebih tinggi dibandingkan tigkat upah yang berlaku di pasar, padahal masyarakat sangat membutuhkan jasa tersebut. Ia mengatakan, “Jika penduduk membutuhkan pekerja tangan yang ahli dan pengukir, dan mereka menolak tawaran mereka, atau melakukan sesuatu yang menyebabkan ketidak sempurnaan pasar, maka pemerintah harus mengeluarkan kebijakan penetapan harga. Dan tujuan dari penetapan harga ini adalah untuk melindungi pemberi kerja (employer) dan penerima kerja (employee) dari saling mengekploitasi sau sama lain”.
Terkait dengan hal tersebut Islam memandang, bahwa tanggung jawab pemerintah bukan terbatas pada keamanan dalam negeri dan sistem keamanan yang mempunyai kekuatan antisifatif serangan dari luar saja. Tapi pertanggung jawaban pemerintah ini harus merupakan bagian dari program pencapaian masyarakat ideal yaitu adil dan makmur. Keadailan dalam masyarakat tidak mungkin tercipta, tanpa keterlibatan pemerintah dalam membela yang lemah dan memberikan pertolongan pada mereka, juga dalam masalah yang menyangkut perekonomian. (an-Nabahan, 2002, hal. 38)
Pemerintah harus bertanggung jawab dalam kesejahteraan masyarakat dan menghilangkan segala bentuk perbuatan yang dapat mengancam kesejahteraan tersebut. Intervensi pemerintah jangan sampai meninggalkan nilai keadilan yang menjadi hak setiap rakyat untuk mendapatkannya. Keadilan disini, juga mencakup hak individu objek intervensi. Maka intervensi harus secukupnya, dan tidak boleh berlebihan. Dan jika masalah telah selesai, maka intervensi kembali ke hukum semula yaitu hram dilakukan.  (an-Nabahan, 2002, hal. 124-125)
Untuk menjaga keberlangsungan pasar secara normal dan tetap dapat mewujudkan kemaslahatan hidup masyarakat, diperlukan suatu lembaga yang mengawasi kegiatan secara optimal. Lembaga tersebut berkawajiban mengamati mekanisme pasar dan menjaganya dari prakter penimbunan (ihtikar), penipuan, praktek ribawi, serta tindakan yang dapat menyebabkan terjadinya distorsi pasar. (Marthon, 2007, hal. 100) Selain itu, lembaga tersebut mempunyai wewenang untuk memberikan sanksi kepada para pelaku pasar yang melakukan penyimpangan atas kaidah dan aturan yang telah ditetapkan.
Praktek pengawasan pasar telah dilaksanakan oleh Rasulullah dengan terjun langsung ke dalam pasar. Dalam operasionalnya, beliau mengelilingi pasar dengan melakukan pembenahan terhadap berbagai tindak penyimpangan yang terjadi di dalamnya. Dalam sebuah riwayat dijelaskan, bahwa pelarangan Rasulullah terhadap tindak kecurangan dan manipulasi dalam pasar dilanjutkan oleh Khulafa ar-Rasyidin dengan mendirikan suatu lembaga, yaitu al-Hisbah. (Marthon, 2007, hal. 100)
Masalah pembentukan negara atau pemerintah, juga berkaitan dengan iqamah ad-din untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena Allah telah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar. Sementara upaya untuk menegakkan kewajiban itu tidak mungkin terealisasi dengan baik tanpa adanya pemerintah. (Taimiyah, 1994, hal. 156-157)
Dasar legal dari intervensi pemerintah yaitu:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”(QS. Ali-Imran:104)
Dari dalil diatas kita dapat mengetahui bahwa pemerintah, menurut ajaran Islam berkewajiban mengajak rakyat untuk berbuat kebaikan, memerintah yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Dan setiap tindakan atau kebijakan para pemimpin yang menyangkut dan mengenai hak-hak rakyat, harus dikaitkan dengan kemaslahatan rakyat dan ditujukan untuk mendatangkan suatu kebaikan. (Quthb, 2001, hal. 132)
Intervensi versi Islam jauh berbeda dengan intervensi model sosialis. Sosialis mendukung pemerintah pada posisi yang sangat dominan, sehingga keterlibatan individu praktis ditiadakan. Dalam Islam, individulah sebagai actor utama dan pemerintah hanya bertindak sebagai stabilisator yang melindungihak-hak individu, terutama hak-hak mendapat keamanan, kesejahteraan, dan jaminan sosial. (an-Nabahan, 2002, hal. 81)
Islam memperkenankan intervensi, hanya dalam kasus tertentu. Jika Islam memperbolehkan intervensi, hanya terbatas pada hal-hal yang mendesak demi terlindunginya kepentingan umum, dengan syarat intervensi pemerintah benar-benar refresentatif dari nilai syari’ah. Dimana kebolehan intervensi hanya untuk menghilangkan kemadharatan yang sedang menimpa. Maka apabila kemadharatan atau suatu keadaan yang memaksa telah hilang, maka kebolehan terhadap yang didasarkan atas kemadharatan itu menjadi hilang pula, artinya perbuatan kembali ke asal mulanya, yakni dilarang. (Rahman, 1976, hal. 87)
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS. An-Nahl:90)
Ibnu taimiyah berpendapat, “Apabila harga yang terbentuk tidak merefleksikan kerelaan masing-masing pihak dan tidak terdapat persentase keuntungan tertentu, maka hal tersebut akan menyebabkan rusaknya sebuah harga dan dapat merugikan kekayaan manusia.” (Marthon, 2007, hal. 99)
Seperti yang telah diketahui, bahwa tujuan intervensi harga oleh pemerintah adalah dalam rangka mewujudkan maslahat bagi kehidupan masyarakat. Dan ketika pemerintah memandang hal tersebut sebagai suatu kemaslahatan, maka saat itu pula intervensi dapat dijalankan. Ada beberapa kondisi yang memperbolehkan adanya penetapan harga, (Marthon, 2007, hal. 98) seperti dalam waktu perang, musim peceklik, dan lain sebagainya.


E.     PENUTUPAN

Pembentukan harga suatu barang terjadi dengan adanya interaksi antara dua kekuatan pokok yaitu penawaran oleh penjual atau produsen dan permintaan oleh pembeli atau konsumen dari suatu produk baik itu barang maupun jasa. Dalam interaksi akan terjadi tawar menawar sehingga tercapai suatu titik Equilibrium (titik keseimbangan) berupa harga yang disepakati oleh para pihak yang bertransaksi. Hasil yang disepakati bersifat mengikat antara keduanya, artinya seorang produsen akan menyerahkan barang yang diminta sebagai kompensasi atas harga yang dibayar atau sebaliknya konsumen harus membayar harga yang disepakati sebagai kompensasi atas barang yang ia beli. (Sudarsono, 2004, hal. 220)
Seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksnya permasalahan ekonomi saat ini, maka intervensi sekarang ini sangat dibutuhkan, dalam upaya menjaga stabilitas ekonomi. Tujuan utama intervensi ini adalah dalam upaya menjaga kesejahteraan bersama. Pemerintah mempunyai peran penting dalam mewujudkan kesejahteraan semua orang dengan menjamin keseimbangan antara kepentingan privat dan sosial, memelihara roda perekonomian pada rel yang benar dan mencegah pengalihan arahnya oleh kelompok orang yang berkuasa yang berkepentingan. (Chapra, 2000, hal. 227) Islam memandag bahwa terdapat satu kesatuan dan keseimbangan antara aspek-aspek dalam setiap usaha manusia.
Sebaiknya pemerintah selalu berkiblat kepada ekonomi yang berbasis ialam, karena ekonomi Islam sangat menjunjung tinggi prinsip keadilan agar tercipta ekonomi Indonesia yang berkeadilan yang memberikan kenyamanan bagi para pemangkunya dan masyarakat.
Berdasarkan penjelasan diatas, ada beberapa poin yang harus dipahami, yaitu pada dasarnya, penentuan harga sebuah komoditas berdasarkan atas asas kebebasan. Harga yang terbentuk merupakan hasil pertemuan antara permintaan dan penawaran dengan asumsi pasar berjalan secara normal. Dalam kondisi tertentu, pemerintah boleh melakukan intervensi harga. Intervensi hanya boleh dilakukan dalam kondisi tertentu (dharurah), seperti terjadinya penimbunan, adanya kolusi di antara penjual ataupun pembeli, dan distorsi pasar.
Intervensi yang dilakukan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat, dan harga yang ditetapkan harus berdasarkan prinsip keadilan bagi semua pihak dan tidak diperbolehkan adanya pihak pihak yang dirugikan.
Mewujudkan sebuah harga yang adil harus memperhatikan barbagai macam aspek dan elemen para pelaku pasar, baik biaya produksi, kebutuhan masyarakat, maupun sumber ekonomi dan berbagai unsur yang dapat menciptakan keadilan suatu harga. Intervensi pemerintah dalam penetapan harga merupakan kekhawatiran dari timbulnya kerugian bagi salah satu pihak pelaku pasar. Dalam kondisi tersebut, intervensi harga yang dilakukan hanyalah untuk menghindari kerugian yang lebih besar semata.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S. (2004). Sumber Hukum Islam (Permasalahan dan Fleksibilitasnya). Jakarta: Sinar Grafika.
Algifari. (2002). Ekonomi Mikro Teori dan Kasus. Yogyakarta: STIE YKPN.
Amrin, A. (2007). Strategi Pemasaran Asuransi Syariah. Jakarta: Grasindo.
an-Nabahan, M. F. (2002). Sistem Ekonomi Islam. (M. Zainuddin, Penerj.) Yogyakarta: UII Pres.
Anto, M. H. (2003). Pengantar Ekonomi Mikro Islam. Yogyakarta: Ekonosia.
Buchari, A. (2002). Manajemen Pemasaran. Bandung: CV Alfabeta.
Chapra, U. (2000). Islam dan Tantangan Ekonomi. Jakarta: Gema Insani.
Djaelani, B. M. (2007). Ensiklopedi Islam. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Hafidhudhin, D. (2003). Islam Aplikatif. Jakarta: Gema Insani Press.
Hasan, M. I. (2002). Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Iqbal, M. (2007). Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar dan Dirham. Depok: Spirit Learning Centre.
Irawan, B. S. (2005). Manajemen Pemasaran Modern (Edisi Kedua ed.). Yogyakarta: Liberty.
Islahi, A. (1997). Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah (Edisi Terjemahan ed.). Surabaya: Bina Ilmu.
Karim, A. A. (2001). Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema Insani.
Karim, A. A. (2003). Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: IIIT Indonesia.
Karim, A. A. (2010). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Marthon, S. S. (2007). Ekonomi Islam : Di Tengah Krisis Ekonomi Global. (L. Y. Sanusy, Penyunt., & D. Ahmad Ikhrom, Penerj.) Jakarta: Zikrul Hakim.
Muhammad. (2008). Metode Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kuantitatif. Jakarta: Rajawali Pers.
P3EI (UII). (2009). Ekonomi Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII. (2009). Ekonomi Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Qardhawi, Y. (1997). Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani.
Quthb, S. (2001). Tafsir fi Zhilalil Qur'an. Jakarta: Gema Insani.
Rahman, A. A. (1976). Qawa'idul Fiqhiyyah. Jakarta: Bulan Bintang.
Saladin, D. (2005). Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengendalian. Bandung: Linda Karya.
Sudarsono, H. (2004). Konsep Ekonomi Islam (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Ekonosia.
Sunaryo. (2001). Ekonomi Manajerial : Aplikasi Teori Ekonomi Mikro. Jakarta: Erlangga.
Taimiyah, I. (1994). Etika Politik Islam. (R. Munawar, Penerj.) Surabaya: Risalah Gusti.

0 komentar:

Posting Komentar