Kamis, 15 Oktober 2015

DOLLAR PULANG KAMPUNG, RUPIAH TURUN GUNUNG

Oleh: Adi Angga Sukmana


Pelemahan Rupiah sebetulnya hal yang biasa apalagi jika sifatnya hanya berfluktuasi biasa, lalu kembali ke level terkuatnya. Namun pelemahan Rupiah kali ini benar-benar mengkhawatirkan karena hampir menembus Rp 15.000 per USD. Pelemahan Rupiah kali ini adalah yang terburuk sejak tahun 1998 dan menempatkan Rupiah mata uang terendah keempat di dunia.
Bahkan pada krisis global tahun 2008 sekalipun, posisi nilai tukar Rupiah tidak pernah turun sampai serendah ini. Pada puncak krisis global tahun 2008, Rupiah hanya anjlok sampai Rp12.768 per USD sebagai titik terendahnya, sebelum kemudian segera balik lagi ke level normalnya yakni Rp9.000an per USD. Rupiah telah menyentuh Rp Rp14.600 per USD (Jumat, 24/9/15). Karena depresiasi yang cukup tajam, Bukan tidak mungkin nilai tukar rupiah terhadap dollar terus merosot hingga Rp 15.000 per USD pada hari-hari selanjutnya.
Cadangan devisa kita saat ini sekitar 111 miliar USD, sebenarnya merupakan level yang cukup baik. Namun secara fundamental, cadangan devisa tersebut terakumulasi dari aliran masuk modal yang terutama menuju ke bursa efek Indonesia. Sifat cadangan devisa seperti ini sangat rentan karena mudah membalik kembali ke negara asalnya.
Untuk mengubah kondisi ini bukanlah pekerjaan mudah. Diantaranya faktor-faktor yang perlu dibenahi meliputi pembangunan infrastruktur, kemudahan perizinan dan birokrasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, pemberantasan korupsi yang mengurangi efisiensi dunia usaha, dan seterusnya. Semua faktor ini pada muaranya akan meningkatkan daya saing, kemudian memperbaiki neraca eksternal, menghasilkan dan menumpuk cadangan devisa, dan akhirnya memperkuat posisi kurs rupiah terhadap mata uang asing.
Pembentukan kurs rupiah tidak berhenti hanya sampai di situ. Kurs rupiah juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, yang berasal dari dinamika perekonomian global. Dalam hal pelemahan nilai tukar rupiah, faktor yang paling besar adalah dinamika perekonomian Amerika Serikat. Krisis ekonomi juga pernah melanda Amerika Serikat pada tahun 2008-2009, yang puncaknya pada pertengahan 2011 menyebabkan USD mengalir ke mana-mana ke seluruh dunia, menyebabkan dampak baik bagi Indonesia karena dapat menikmati tumpukan cadangan devisa tertinggi sepanjang sejarah, yakni USD 124,67 miliar pada Juli-Agustus 2011. Akibatnya, rupiah pun menguat hingga rekor tertinggi Rp 8.560 per USD.
Namun kondisi perekonomian Amerika Serikat secara pelahan tapi pasti mulai menemukan kembali jalurnya yang benar. Pengangguran mengalami penurunan yang tajam dari puncaknya 10 persen (2009-2010) menjadi 5,8 persen. Singkatnya, perekonomian AS kini telah kembali bugar, meski belum sepenuhnya. Ini lah salah satu penyebab Dollar pulang kampung kembali ke Negara asalnya, sehingga negara-negara yang awalnya menyimpan cadangan devisa Dollar cukup banyak seperti Indonesia menjadi berkurang sehingga menyebabkan kurs Rupiah melemah, dan kurs Dollar menjadi naik.
Faktor lain yang menjadi melemahnya rupiah diakhir tahun 2015 ini adalah, penemuan energi minyak baru bernama shale oil, yang dihasilkan dari bebatuan yang dipanasi di negara bagian Colorado, Wyoming dan Utah. Penemuan ini telah menyebabkan Amerika Serikat kini menjadi negara pemilik cadangan minyak terbesar di dunia dengan cadangan 1 triliun barrel. Inilah alasan kenapa harga minyak dunia meluncur turun ke USD 55 per barrel, atau separuh dari posisi harga USD 115 per barrel pada pertengahan 2014.
Usaha-usaha untuk menjaga Rupiah agar tidak terus melemah telah banyak di lakukan. Menteri Keuangan kita, Bambang Brodjonegoro dan Menko Perekonomian yang baru, Darmin Nasution, sibuk mencari solusi terbaik untuk mengangkat kembali Rupiah dari keterpurukannya. Dampak paling buruk jika Rupiah semakin melemah adalah krisis ekonomi. Awal kerusuhan yang terjadi tahun 1998 dimulai dengan krisis moneter, disusul oleh krisis ekonomi dan puncaknya pada krisis politik. Oleh karena itu, setiap komponen baik pemerintah, swasta maupun rakyat Indonesia harus bersatu dalam menghadapi dampak buruk melemahnya Rupiah.
Menurut Keterangan Pers Kementerian Keuangan Republik Indonesia bahwa perlu kita garis bawahi bahwa tren depresiasi nilai tukar Rupiah Indonesia kali ini berbeda dengan kondisi pada saat krisis keuangan tahun 1997-1998 dan krisis 2008-2009. Kondisi perekonomian Indonesia saat ini jauh lebih baik, dan beberapa indikator lain seperti indeks harga saham gabungan (IHSG) dan posisi cadangan devisa menunjukan tren peningkatan, berbeda dibandingkan dengan kondisi pada saat dua krisis terdahulu terjadi.
Perlu kita apresiasi juga beberapa langkah pemerintah telah dilakukan untuk perbaikan penyehatan APBN dan untuk mendukung stabilitas makroekonomi antara lain melalui defisit APBN yang dijaga pada tingkat yang rendah serta alokasi belanja APBN dibuat lebih produktif. Selain itu rasio utang Pemerintah terhadap PDB berada pada kisaran 24 persen yang merupakan tingkat yang aman dan rendah dibandingkan dengan negara lain.
Seharusnya pemerintah secepatnya melakukan swasembada beras, daging sapi, bawang, cabai, kedelai, gula, garam hingga singkong sehingga tidak perlu diimpor dari luar negeri. Pemerintah juga jika terpaksa berutang, lebih baik meminjam uang rakyat dengan menerbitkan lebih lanjut surat utang kepada rakyat dan bukan meminjam utang kepada luar negeri. Kemudian bagi para konsemen dan masyarakat harus mengutamakan konsumsi produk-produk dalam negeri.

0 komentar:

Posting Komentar