Oleh : Adi Angga Sukmana (Penerima Beasiswa SDM Ekspad DD-SEBI)
Pembina : Udhi Trikurniawan (Manager Unit Kepemimpinan)
Pembina : Udhi Trikurniawan (Manager Unit Kepemimpinan)
Tema : Trustworthy (terpercaya, dapat dipercaya)
Bismillahirrohmanirrohim, Assalamualaikum Warohmatullahi
Wabarokaatuh.
Apakah rasa
tanggung jawab semakin memudar di negeri ini? Bisa jadi. Pernah ketika
saya mengemban amanah sebagai Ketua Pelaksana Acara Milad SEBI 16, bersama
teman-teman saya merancang sebuah acara yaitu perlombaan permainan daerah dan
Kuliah Umum dengen tema “Peran Kampus dalam Pembangunan Umat”, dan sebagai
pembicara yaitu ketua BAZNAS, Prof. DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc. Memang tidak
mudah untuk merancang dan menyelenggarakan sebuah
acara, ada berbagai masalah yang mungkin erat kaitanya dengan judul artikel
yang kami buat ini.
Rasa
tanggungjawab, rasa saling percaya, dan rasa memiliki adalah beberapa faktor
internal sebuah organisasi yang harus dimiliki oleh seluruh anggotanya, tanpa
ada rasa-rasa itu atau hanya beberapa yang dimiliki maka
akan bisa jadi tolak ukur kesuksesan sebuah acara, dan itupun yang terjadi di
acara yang saya dan teman-teman selenggarakan tersebut. Diawal terbentuknya
kepanitiaan beberapa dari kami merasa belum memiliki rasa tanggungjawab, rasa
saling percaya, dan rasa memiliki acara tersebut,
sehingga di awal rangkaian acara (lomba permainan daerah) banyak sekali masalah
yang datang, mulai dari peserta kurang respek karena kurangnya publikasi hingga
beberapa panitia yang kurang serius dengan amanahnya. Saya pun tidak mau
situasi ini berlanjut hingga hari puncak perayaan Milad SEBI 16, malam yang
sama dihari tersebut saya pun mengumpulkan seluruh panitia untuk sedikit
bermuhasabah terkait kinerja, dan juga terkait rasa tanggungjawab, rasa saling
percaya dan rasa memiliki acara ini.
Kemudian
kami pun komitmen bahwa kita harus mensukseksan acara ini hingga akhir
acara, dari mulai saat itu semangat kontribusi panitia berubah 180 derajat,
yang tadinya bersikap masa bodoh kemudian berubah drastis hingga setiap panitia
merasa memiliki acara ini, bahwa kita lah yang memiliki acara ini, dan setiap
panitia pun merasa saling percaya satu sama lain, dan juga di pertemuan
tersebut mengajarkan kita agar untuk totalitas atau maksimal dalam melakukan
tanggung jawab.
Ya itulah
sepenggal kisah ku bersama teman-teman, dari itu kami belajar arti pentingnya
rasa tanggungjawab, rasa saling percaya, dan rasa memiliki dalam melakukan
kegiatan apapun, baik itu kegiatan kecil yang mungkin hanya aktifitas pribadi
dalam keseharian atau bahkan kegiatan besar yang melibatkan banyak masa.
Kemudian apa kaitanya kisahku di atas dengan judul artikel ku ini? Tentu saja
berbeda kalau dilihat dari sudut pandang cakupannya, tetapi kalau kita
perhatikan, kita bisa mengambil benang merah dari keduanya yaitu rasa
tanggungjawab. Apa itu tanggungjawab? Pentingkah rasa tanggungjawab tersebut?
Sepenting apa rasa itu untuk Negara ini? Mari kita
lanjutkan.
Tanggung jawab
adalah ciri manusia beradab dan berbudaya. Manusia merasa bertanggung jawab
karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula
bahwa pihak lain memerlukan mengabdian atau pengorbanannya. Untuk memperoleh
atau meningkatkan kesadaran bertanggung jawab perlu ditempuh usaha melalui
pendidikan, penyuluhan, keteladanan, dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi
tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan perbuatannya yang disengaja maupun
yang tidak di sengaja.
Allah SWT
menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa tanggung jawab, melainkan untuk
mengisi kehidupannya, manusia mempunyai tanggung jawab langsung terhadap
perintah Allah SWT. Sehingga tindakan atau perbuatan manusia tidak bisa lepas
dari pengawasan Allah SWT yang dituangkan dalam kitab suci Al-Qur'an melalui agama
islam. Pelanggaran dari hukuman-hukuman tersebut akan segera diperingati oleh
Allah melalui tanda-tanda atas kekuasaanya didunia, bisa saja dengan kita
diberi halangan-halangan untuk mempersulit kita dalam melepas tanggungjawa kita,
atau dengan peringatan halus atau keras oleh-Nya
melalui perantara, atau bahkan dibiarkan hingga ada azab
didunia atau di akhirat.
Perasaan
tanggung jawab dalam pekerjaan sangat langka. Rasa egoisme lah yang menjadi
faktor hilangnya rasa tanggungjawab tersebut.
Beberapa orang dengan mudahnya menuding orang lain bila ada kegagalan
dalam pekerjaan atau proyek. Alasan dicari-cari untuk menyalahkan orang lain.
Jarang ada yang mengatakan, "Ini kesalahan saya."
Bukan hanya
dalam pekerjaan, dalam kehidupan bermasyarakat rasa tanggung jawab pun termasuk
langka. Mayoritas warga membiarkan segelintir orang mengerjakan hal-hal untuk
kepentingan komunitasnya, salah satunya karena mayoritas warga mulai hilang akan rasa peduli terhadap komunitas (klompok) tersebut.
Rasa gotongroyong dan kebersamaan yang menjadi slogan warga Indonesia zaman
dulu sekarang semakin langka.
Kebanyakan
manusia zaman ini hanya memberikan sedikit perhatiannya kepada sesama warga,
masing-masing dari mereka menikmati dirinya sendiri. Yang sering bisa dilakukan
hanyalah menyumbang sejumlah uang; tidak mau repot untuk urusan kepentingan
warga. Ini karena sikap individualis betul-betul
telah menggerogoti warga.
Yang lebih
memprihatinkan adalah bahwa di institusi-institusi terhormat sekalipun, yang
katanya berisi sarjana-sarjana cerdas sikap bertanggung jawab pun hampir dapat
dikatakan semakin sirna. Sangat aneh, iya memang unik negeri ini,
para wakil rakyat yang seharusnya bersikap dan mengambil kebijakan untuk
kepentingan rakyat tetapi yang terjadi bahkan sebaliknya.
Dari media
masa baik itu koran, televisi, radio,
internet, atau sarana lain bisa dilihat bagaimana para politisi, aparat negara,
dan elit negara menunjukkan sikap yang mengindikasikan lemahnya akan rasa
tanggungjawab; terdengar kasus korupsi, kolusi,
dan nepotisme
yang melibatkan para pejabat public tersebut.
Seharusnya
setiap institusi, perusahaan, atau organisasi memiliki eksistensi yang berasal
dari value yg kuat, dan value tersebut dipahami betul untuk tim didalamnya.
Sehingga institusi, perusahaan, atau organisasi tersebut bisa mempertahankan
karaktertenya walaupun diterpa zaman yang kontra dengan etika. Seperti yang
dilakukan oleh Post Pendidikan Dompet Dhuafa yang memiliki
memiliki value yaitu TRUSH, modeL, Profesional, Inovativ, BTROtherhood (TRUSHLIPIBRO),
dan lembaga ini pun terus mengupayakan bahwa seluruh perangkat terus memegang
teguh nilai-nilai ini. Wal hasil LAZ Dompet Dhuafa pun terus eksis untuk
menjadi LAZ yang terdepan dan mempunyai integritas tinggi, seperti loganya
yaitu seperti mata panah (segitiga) yang melambangkan yaitu selalu terdepan dan
melesat ke target sasaran tetapi tetap memegang nilai-nilai yang sudah di
pegang selama ini.
Pendidikan formal memang
tidak selalu menghasilkan pribadi-pribadi yang bertanggungjawab. Tidak selalu
ada relasi yang berbanding lurus antara pendidikan yang diterima dengan rasa
tanggung jawab. Semakin tinggi pendidikan seseorang tidak selalu berarti ia
semakin bertanggung jawab. Namun, ada juga orang yang berpendidikan rendah,
tapi memiliki tanggung jawab tinggi. Sekalipun sulit, masih ditemukan
sosok-sosok yang jujur dengan pendidikan minim.
Kalau
ditanya, seberapa pentingkah tanggungjawab bagi kita sebagai individu? Maka
jawabanya adalah sangat penting. Karena tanggungjawab adalah wujud keimanan,
ketika mendapat amanah jangan sekali-kali mengkhianati, karena setiap
tangungjawab yang kita emban akan dimintai pertanggungjawabanya baik itu oleh
atasan kita, dan pastinya oleh sang pencipta yaitu Allah Azza wa Jalla. Dan
sikap tanggungjawab akan menjaga keharmonisan antar manusia, juga akan
memunculkan kedamaian dan tidak akan dibayang-bayangi rasa bersalah.
Mungkin
timbul pertanyaan kedua, kenapa harus saya? Mungkin disini dalam konteks
organisasi. Pertama kita harus melihat kondisi, yaitu kondisi dimana masih ada
peluang orang lain untuk menjalankan tanggungjawab itu maka sampaikan, dengan
kata lain kita boleh memberikanlah tanggungjawab yang mungkin orang lain
amanahkan untuk kita, tapi kita serahkan ke orang
yang menurut kita lebuh mampu. Tapi jika kondisi dimana memang tidak ada orang
lain maka kita harus menerima itu dengan profesional , jadi amanah yg kita
terima merupakan resiko kita, risiko atas kesempatan yang kita punya.
Bekerja
dengan sikap yang penuh tanggung jawab memang bukan karakter yang muncul dengan
mudah. Nilai itu harus dilatih dan tidak sedikit godaan untuk bisa meraihnya,
disini ada 3 point agar memiliki karakter tanggungjawab:
1. Disiplin,
yaitu tidak menunda-nunda pekerjaan, kadang kita mengerjakan sesuatu dengan
kemauan bukan kemampuan, saran dari penulis yaitu memperbanyak momen untuk
mengeksplor sesuai kemampuan. Karena kadang kualitas deadline lebih baik dari
kualitas yg banyak waktu.
2. Muhasabah,
yaitu menghitung, menilai, memutuskan, bagaimana mengerjakan amanah-amanah kita
agar efektif dan efisien (tepat guna dan tepat sasaran).
3. Sejauh mana
pemahaman terhadap agama, pemahaman terhadap nilai-nilai islam menentukan
sejauh mana amanah kita.
Di dunia
kerja, keuntungan menjadi ukuran keberhasilan, bukan proses. Kebanyakan orang
berlomba-lomba untuk menumpuk terus pundi-pundi uang yang mungkin sudah
melebihi kebutuhan mereka dengan tanpa peduli apakah kerabat ataupun
tetangganya kelaparan. Masa bodoh dengan etika baik, yang terpenting bagi
mereka adalah harta dan jabatan, juga disisi lain rakyat miskinnya terlalu
nyaman dengan kemiskinanya, sesungguhnya tidak seutuhnya orang miskin dinegri
ini benar-benar miskin harta dan lemah fisik hingga tidak bisa menjemput rizki
tapi yang terjadi adalah miskin mental dan lemah karakter. Jadi, bisa dikatakan
bahwa tantangan untuk menjadi seorang individu yang bertanggung jawab bukanlah
pilihan mudah di Negri ini.
Professional,
iya benar kata tersebut lah yang seharusnya ada dalam diri setiap orang di
negeri ini terutama umat islam, bahkan saya percaya seluruh agama didunia ini
mengajarkan umatnya untuk bersikap professional, yaitu menjalankan tanggungjawab
dengan baik sesuai dengan yang sudah disepakati. Sebelum manusia tercipta
didunia ini pun, ruh ini dengan Sang Pencipta telah bersepakat dengan sepenuh
hati bahwa tiada tuhan selain Allah, tuhan satu-satunya yang patut dan pantas
di sembah.
Logika
seharusnya, apabila masyarakat suatu negara menjalankan setiap ajaran agamanya
dengan tekun seperti di Indonesia maka negara tersebut akan tentram dan
sejahtera karena diisi oleh orang-orang yang bertanggungjawab. Tetapi apa yang
terjadi dengan indonesia? Negri kepulauan yang memiliki lebih dari 13ribu
pulau, Negara yang memiliki jumlah penduduk lebih dari 240juta orang, dengan
80% beragama Islam, Negara yang memiliki utang lebih dari 2.600triliun, Negara
termiskin ke 68 dunia (nomer ke1 yaitu Negara Zombabwe), Negara yeng memiliki
penduduk miskin mencapai lebuh dari 28juta orang, Negara dengan indeks persepsi
korupsi mencapai peringkat peringkat 107 (malaysia
peringkat 50), Bahkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada periode 2004-2011
menyelidiki 417 kasus, dan pengembalian uang negara dari kasus yang ditangani
KPK mencapai Rp 800 miliar.
Apa yang
salah? Iya benar salah satu jawabannya yaitu bahwa Indonesia krisis akan rasa
tanggungjawab. Bagaimana cara mengatasinya? Salah satunya yaitu merubah kurikulum
pendidikan kita, yang harus diutamakan dalam pendidikan dasar bagi anak-anak penerus bangsa adalah ilmu tentang etika dan aqidah, dan
setelah itu barulah ilmu pengetahuan yang lainnya. Mungkin beberapa kita tidak
bisa untuk melakukan itu untuk sekarang ini, tetapi minimal jadilah kita menjadi
salah satu dari jutaan manusia yang akan memajukan Indonesia dan menegakkan
agama Islam, dan apabila kita belum bisa menjadi tokoh utama yang akan mengubah
negara lebih maju setidaknya kita memiliki peran untuk membantu tokoh utama, dan
jangan sampai kita tidak ada peran sedikitpun untuk
kemajuan bangsa dan agama ini.
Jadi kata
kuncinya yaitu bahwa Islam akan jaya pada masanya kelak, kemudian peran apa
yang akan kita berikan untuk kejayaan itu? kalaupun kita tidak punya peran
untuk kejayaan itu, setidaknya kita jangan menghambat akan kejayaanya.
Wabillahitaufiiq wal Hidayah, Wassalamualaikum
Warohmatullahi Wabarokaatuh.
0 komentar:
Posting Komentar