Pelemahan
Rupiah sebetulnya hal yang biasa apalagi jika sifatnya hanya berfluktuasi biasa,
lalu kembali ke level terkuatnya. Namun pelemahan Rupiah kali ini benar-benar
mengkhawatirkan karena hampir menembus Rp 15.000 per USD. Pelemahan Rupiah kali
ini adalah yang terburuk sejak tahun 1998 dan menempatkan Rupiah mata uang
terendah keempat di dunia.
Bahkan pada
krisis global tahun 2008 sekalipun, posisi nilai tukar Rupiah tidak pernah turun
sampai serendah ini. Pada puncak krisis global tahun 2008, Rupiah hanya anjlok
sampai Rp12.768 per USD sebagai titik terendahnya, sebelum kemudian segera
balik lagi ke level normalnya yakni Rp9.000an per USD. Rupiah telah menyentuh
Rp Rp14.600 per USD (Jumat, 24/9/15). Karena depresiasi yang cukup tajam, Bukan
tidak mungkin nilai tukar rupiah terhadap dollar terus merosot hingga Rp 15.000
per USD pada hari-hari selanjutnya.
Cadangan
devisa kita saat ini sekitar 111 miliar USD, sebenarnya merupakan level yang
cukup baik. Namun secara fundamental, cadangan devisa tersebut terakumulasi
dari aliran masuk modal yang terutama menuju ke bursa efek Indonesia. Sifat
cadangan devisa seperti ini sangat rentan karena mudah membalik kembali ke
negara asalnya.
Untuk mengubah
kondisi ini bukanlah pekerjaan mudah. Diantaranya faktor-faktor yang perlu
dibenahi meliputi pembangunan infrastruktur, kemudahan perizinan dan birokrasi,
peningkatan kualitas sumber daya manusia, pemberantasan korupsi yang mengurangi
efisiensi dunia usaha, dan seterusnya. Semua faktor ini pada muaranya akan
meningkatkan daya saing, kemudian memperbaiki neraca eksternal, menghasilkan
dan menumpuk cadangan devisa, dan akhirnya memperkuat posisi kurs rupiah
terhadap mata uang asing.
Pembentukan
kurs rupiah tidak berhenti hanya sampai di situ. Kurs rupiah juga dipengaruhi
oleh faktor eksternal, yang berasal dari dinamika perekonomian global. Dalam
hal pelemahan nilai tukar rupiah, faktor yang paling besar adalah dinamika
perekonomian Amerika Serikat. Krisis ekonomi juga pernah melanda Amerika
Serikat pada tahun 2008-2009, yang puncaknya pada pertengahan 2011 menyebabkan
USD mengalir ke mana-mana ke seluruh dunia, menyebabkan dampak baik bagi Indonesia
karena dapat menikmati tumpukan cadangan devisa tertinggi sepanjang sejarah,
yakni USD 124,67 miliar pada Juli-Agustus 2011. Akibatnya, rupiah pun menguat
hingga rekor tertinggi Rp 8.560 per USD.
Namun
kondisi perekonomian Amerika Serikat secara pelahan tapi pasti mulai menemukan
kembali jalurnya yang benar. Pengangguran mengalami penurunan yang tajam dari
puncaknya 10 persen (2009-2010) menjadi 5,8 persen. Singkatnya, perekonomian AS
kini telah kembali bugar, meski belum sepenuhnya. Ini lah salah satu penyebab
Dollar pulang kampung kembali ke Negara asalnya, sehingga negara-negara yang
awalnya menyimpan cadangan devisa Dollar cukup banyak seperti Indonesia menjadi
berkurang sehingga menyebabkan kurs Rupiah melemah, dan kurs Dollar menjadi
naik.
Faktor lain yang
menjadi melemahnya rupiah diakhir tahun 2015 ini adalah, penemuan energi minyak
baru bernama shale oil, yang dihasilkan dari bebatuan yang dipanasi di negara
bagian Colorado, Wyoming dan Utah. Penemuan ini telah menyebabkan Amerika
Serikat kini menjadi negara pemilik cadangan minyak terbesar di dunia dengan
cadangan 1 triliun barrel. Inilah alasan kenapa harga minyak dunia meluncur
turun ke USD 55 per barrel, atau separuh dari posisi harga USD 115 per barrel pada
pertengahan 2014.
Usaha-usaha
untuk menjaga Rupiah agar tidak terus melemah telah banyak di lakukan. Menteri
Keuangan kita, Bambang Brodjonegoro dan Menko Perekonomian yang baru, Darmin
Nasution, sibuk mencari solusi terbaik untuk mengangkat kembali Rupiah dari
keterpurukannya. Dampak paling buruk jika Rupiah semakin melemah adalah krisis
ekonomi. Awal kerusuhan yang terjadi tahun 1998 dimulai dengan krisis moneter,
disusul oleh krisis ekonomi dan puncaknya pada krisis politik. Oleh karena itu,
setiap komponen baik pemerintah, swasta maupun rakyat Indonesia harus bersatu
dalam menghadapi dampak buruk melemahnya Rupiah.
Menurut
Keterangan Pers Kementerian Keuangan Republik Indonesia bahwa perlu kita garis bawahi
bahwa tren depresiasi nilai tukar Rupiah Indonesia kali ini berbeda dengan
kondisi pada saat krisis keuangan tahun 1997-1998 dan krisis 2008-2009. Kondisi
perekonomian Indonesia saat ini jauh lebih baik, dan beberapa indikator lain
seperti indeks harga saham gabungan (IHSG) dan posisi cadangan devisa
menunjukan tren peningkatan, berbeda dibandingkan dengan kondisi pada saat dua
krisis terdahulu terjadi.
Perlu kita
apresiasi juga beberapa langkah pemerintah telah dilakukan untuk perbaikan
penyehatan APBN dan untuk mendukung stabilitas makroekonomi antara lain melalui
defisit APBN yang dijaga pada tingkat yang rendah serta alokasi belanja APBN
dibuat lebih produktif. Selain itu rasio utang Pemerintah terhadap PDB berada
pada kisaran 24 persen yang merupakan tingkat yang aman dan rendah dibandingkan
dengan negara lain.
Seharusnya
pemerintah secepatnya melakukan swasembada beras, daging sapi, bawang, cabai,
kedelai, gula, garam hingga singkong sehingga tidak perlu diimpor dari luar
negeri. Pemerintah juga jika terpaksa berutang, lebih baik meminjam uang rakyat
dengan menerbitkan lebih lanjut surat utang kepada rakyat dan bukan meminjam
utang kepada luar negeri. Kemudian bagi para konsemen dan masyarakat harus
mengutamakan konsumsi produk-produk dalam negeri.